Pagi  ini sebuah undangan sosialita tergeletak di meja kerjaku. Meskipun sebagai pegawai baru di perusahaan ini sejatinya aku enggan ikut kegiatan sosialita. Bukan karena tak mampu dalam hal keuangan, tapi pesan Mas Doni yang selalu kujaga. "Kalau nanti diterima di perusahaan itu, kamu jangan ikut arus, sebab disana cari uang gampang, tapi kalau tidak terkontrol sama juga bohong, ingat ada sahabatku juga disana"
Memang aku masuk di perusahaan ini dengan alasan simpel, daripada ijazah S2 nganggur, lebih baik buat kerja. Kebetulan perusahaan ini memerlukan manajer keuangan yang telah meninggal beberapa waktu lalu. Kebetulannya lagi pemilik perusahaan adalah sahabat dekat Mas Doni. Namanya Wawan.
Undangan sosialita itu kuraih, dan perlahan kubuka. "Gimana mbak, ikut ya? Asyik kok, daripada bengong sendirian, gabung aja nggak ribet. Dijamin seru."Â seorang pegawai tiba-tiba nyerocos di belakangku seraya menepuk-nepuk pundakku.
"Oh ya, namaku Ayu, aku manajer pemasaran. Kata bos Wawan ada manajer keuangan baru, makanya aku kesini sekalian meletakkan undangan itu. Oh ya, mbak namanya siapa?"Â tanya pegawai itu yang mengaku bernama Ayu. Ia pun menjulurkan tangannya untuk berkenalan denganku.
"Aku Wiwik, panggil saja Wiwik, nggak usah pakai mbak" balasku.
"Siap, Wiwik ya. Gimana? Ikut ya?" Ayu terus mendesakku agar ikut acara sosialita itu.
"Kubaca dulu ya undangannya" sekedar basa-basiku saja untuk melegakan hatinya.
"Bener lo ya? pokoknya kamu harus ikut, pasti seru!"Â pungkas Ayu sambil berlalu.
Aku tak menjawab, kupikir cukup mengangguk sambil tersenyum tipis saja biar segera usai perjumpaan ini. Bukan aku tak senang, tapi ini masih proses adaptasi. Aku belum bagaimana sifat orang-orang di perusahaan ini. Manajer personalia hanya berpesan selama masa perkenalan silahkan duduk dulu di meja manajer keuangan, nanti akan diajak keliling perusahaan untuk perkenalan. Hari pertama kemarin aku sudah berkenalan dengan pegawai di divisi keuangan atau bawahanku sendiri. Sementara hari kedua ini aku akan diajak berkenalan oleh manajer personalia ke divisi pemasaran.
"Wah teman baru, silahkan Wik. Nah, ini ruang kerjaku. Mari...mari ngobrol sini dulu" sambut Ayu saat aku dan manajer personalia memasuki ruangannya.
"Rupanya kalian sudah kenalan ya, jangan diajak ngobrol dulu, Mbak Wiwik ini ngurusi gaji, ntar pada nggak gajian lo" kata manajer personalia.
"Hahahaha, bisa aja mbak Yuni ini. Wiwik ini kan masih baru mbak, harus kenalan lebih mendalam. Nanti sore aja dia sudah ikut sosialita lo mbak? ya kan Wik?" seloroh Ayu seraya mengedipkan matanya yang ganjen.
Untunglah manajer personalia segera mengajakku berpindah tempat, alasannya keburu siang dan tugas menumpuk. Tapi, sesampainya di luar ruangan Mbak Yuni menarik lenganku dan berbisik, "Mbak Wiwik mesti hati-hati ya sama si Ayu ini. Dia ini suka hura-hura, alasannya sosialitalah, pertemuanlah, arisanlah bla, bla, bla. Ada saja alasannya. Padahal divisinya lagi keteteran."
"Hemm, satu orang sudah kuketahui yang sebenarnya"Â batinku seraya manggut-manggut mendengar penjelasan Mbak Yuni.
Benar saja. Sore itu sebelum pulang kerja wajah Ayu sudah dihadapanku. "Gimana manajer baru? Sudah siapkan? Nggak perlu ganti baju, kita langsung cus aja" ajaknya menggebu. Belum sempat bibirku menjawab, sebuah telepon masuk. "Mas Doni, Alhamdulillah" gumamku kegirangan, sebab ini bisa menjadi alasanku untuk menolah ajakan Ayu. "Maaf suamiku menjemput, lain kali aja ya". Ayu melengos dan pergi begitu saja.
Mas Doni lebih penting bagiku. Selain suamiku, dia juga sudah menjemput di ruangan bos Wawan, sahabatnya.
"Gimana Mama, kerasan nggak disini?" tanya Mas Doni. Mendengar itu aku hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol dua ke hadapan bos Wawan. "Insya Alloh kerasan"
"Sudah kuduga, kau pasti kerasan. Disini enak kok suasananya. Saya sudah pesan sama si Yuni personalia agar memilih pegawai yang bisa dibentuk, bukan pemberontak apalagi suka ngantuk"Â papar bos Wawan.
Esok hari, Ayu datang lagi. Kali ini ia memamerkan sebuah tas yang baru dibelinya. "Wik, bagus nggak? Tas ini telah lama menyiksaku, aku nggak bisa tidur gara-gara tas ini" seperti biasa Ayu nyerocos begitu saja.
"Wah bagus, pasti mahal ya?" kucoba mengimbanginya.
"Ya iyalah nyonya manajer keuangan"Â guraunya.