Negeri nyiur melambai.
Angin menghembus dari segala mata angin.
Pohon kelapa terus terdorong miring.
Tuhan,
Jika aku boleh memilih:
"Jangan jadikan aku sebagai simbol negara di negeri ini"
Lihatlah mereka saling mencoret-coret tubuhku.
Aku dikoyak ke sana-kemari.
Atas namaku pula mereka bertitah.
Bahkan beberapa dari mereka menindas, memotong,
menjegal, menghujat dan terus mencari pembenaran diri
Untunglah masih ada tubuhku di atas papan tulis
yang beratap genting penuh lubang.
Untunglah masih ada tubuhku di pinggir trotoar
yang bersanding kalender tahun baru.
Untunglah masih ada leluhur yang mengabadikan
dalam tulisan diatas kertas rapuh.
Mungkin jika tidak ada aku, negeri ini tidak subur.
Mungkin aku juga hanya selembar papan kayu
yang pengukirnya telah menjadi tanah.
Mungkin juga simbol negara memang
dibuat sengketa saja, biar roboh pohon kelapa beserta nyiurnya.
SINGOSARI, 24 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H