Usai makan pedas, kuhisap dalam-dalam kretek, mengepullah asap tebal. Bergulung-gulung memenuhi kamar. Ia menjelma menjadi perempuan yang kukunya lancip serta tajam. "Mengapa kau lahirkan aku dari paru-parumu?"Â tanya perempuan itu sambil melotot.
Aku setengah kaget. Maka, kujawab seenaknya saja, "Aku kan laki-laki, masa punya rahim?"
Angin diluar sayup-sayup telah menjemput asap. Ia pergi membawa tanya yang belum diungkapkan untuk kedua kalinya. Seperti cinta gagap yang ditikam rindu hingga kering mengelupas. Di bawah pohon beringin asap itu menghitung usia lalu lenyap.
Usai menenggak kopi, kuhisap lagi dalam-dalam kretek di bibirku. Bergulung-gulung asap memenuhi kamar. Ia menjelma menjadi perempuan yang lemah tak berdaya. "Kuburkan aku segera!"Â pintanya.
Langsung saja kubuka pintu kamarku, diluar nampak petugas kesehatan membawa ambulance berkata: "Siapa dulu yang kami angkut?"
Tiba-tiba asap itu bangkit seraya menunjuk wajahku. "Dia saja," katanya. "Lihatlah, badanmu kurus berbaju kedodoran, mana ada perempuan mau denganmu?" sambungnya.
Aku merasa tersinggung dan kesal. Kretek yang belum habis itu kuinjak sampai mati. Sekedip mata kemudian kakiku tak menginjak tanah. Aku terbaring diatas ranjang dorong diiringi sirine yang meraung-raung.Â
SINGOSARI, 19 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H