Hidung ini sebenarnya kupinjam dari anak tetangga yang belum kering ingusnya. Ia tak sempat menangis meskipun bapak ibunya merajut cinta di dunia yang sebentar lagi ditinggalkannya. Terkadang egoisme cinta tak membutuhkan permainan boneka atau robot-robotan yang bersuara.
Sebelumnya aku agak risih. Apalagi ingus ini sudah mengental, seperti gumpalan alasan untuk saling berprasangka. Hingga akhirnya berpisah, menyemai cinta yang baru.
Saat di pengadilan agama, hakim tak pernah bertanya pada bapak ibu yang berseteru "Apa kamu pernah menjadi anak kecil?"
Keduanya sepakat menjawab, "Sudahlah, mana yang bisa saya tanda tangani, nanti biar pengacara yang cerita masa kanak-kanaknya"
Hidung ini kukembalikan lagi pada malam hari, setelah bulan menunjukkan arah di mana anak itu tertidur. Sebuah antrean lalat siap menyerbu ingus kering yang basah kembali oleh air mata. Malam ini kau tertidur pulas, aku malah amblas ke alam tak waras.
SINGOSARI, 17 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H