Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jogging

Sesungguhnya aku tiada, hingga Tuhan membenamkan cinta di relung rusuk

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi: Hidung Ingusan

17 Juni 2020   16:17 Diperbarui: 18 Juni 2020   18:54 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membantu anak jalanan. (sumber: KOMPAS/TOTO SIHONO)

Hidung ini sebenarnya kupinjam dari anak tetangga yang belum kering ingusnya. Ia tak sempat menangis meskipun bapak ibunya merajut cinta di dunia yang sebentar lagi ditinggalkannya. Terkadang egoisme cinta tak membutuhkan permainan boneka atau robot-robotan yang bersuara.

Sebelumnya aku agak risih. Apalagi ingus ini sudah mengental, seperti gumpalan alasan untuk saling berprasangka. Hingga akhirnya berpisah, menyemai cinta yang baru.

Saat di pengadilan agama, hakim tak pernah bertanya pada bapak ibu yang berseteru "Apa kamu pernah menjadi anak kecil?"

Keduanya sepakat menjawab, "Sudahlah, mana yang bisa saya tanda tangani, nanti biar pengacara yang cerita masa kanak-kanaknya"

Hidung ini kukembalikan lagi pada malam hari, setelah bulan menunjukkan arah di mana anak itu tertidur. Sebuah antrean lalat siap menyerbu ingus kering yang basah kembali oleh air mata. Malam ini kau tertidur pulas, aku malah amblas ke alam tak waras.

SINGOSARI, 17 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun