Hari terus bergelora seperti api unggun yang dirayakan anak-anak. Minggu terus mengalun seperti seruling yang ditiup oleh anak-anak gembala. Bulan terus melompat seperti anak-anak yang terjun ke sungai.Â
Mereka terlahir, merangkak dan terus mengejar matahari. Menempelkan sinarnya di kening menyerupai kunang-kunang. Bumi mengajari anak-anak untuk mengunyah kehidupan. Menenggak air kejujuran. Menyelami keikhlasan.Â
Suatu hari nanti, jika bibirnya tumbuh mawar. Ucapnya berduri menggores hati. Tawanya melepas angin. Saat itu, gelegar petir berkilatan dari amarahnya. Jika demikian kau pahami, maka hujan telah mendewasakan kemarau. Silih waktu ada masa berkehendak. Jangan paksa jika tak mau luka. Jangan melukai jika akhirnya kita semua menyimpan persediaan sakit.
Maka, anak-anak akan cukup bekal mencapai bulan, walau memanggang tahun sampai matang. Abad akan mengenangnya sebagai warisan yang dibawa angin, dan dibagikannya kepada orang tua yang duduk-duduk menikmati secangkir teh hangat bersama cucu-cucu mereka. Begitulah kira-kira anak-anak diajak jalan-jalan mengendarai waktu.
SINGOSARI, 25 Februari 2020