Seorang muda telah mencuri tidurku. Saat arloji masih belum lelah mengunjungi waktu. Pikiran padam sebelum menderas lelah. Aku tak siap melihat waktu melompati jaman. Aku dijebloskan ke dalam negeri, yang penuh warna-warni namun tak ada yang sudi.
Bayi-bayi tak bernama lahir dari orang-orang yang tak lagi membaca kitab suci. Kiblat menjadi tak terpelihara. Mereka merencanakan berbagai ritual pemujaan bagi dirinya sendiri. Ajaran agama berceceran dimana-mana, yang memunguti akan menjadi pemuka, sedangkan yang tidak kebagian akan dihina semena-mena. Berdirilah pagar-pagar yang menjulang tinggi, mereka saling melempar bola api ke pagar lainnya. Tangan mereka melepuh, rambut mereka mendidih.Â
Manusia semakin tak bertanah. Banyak rumah yang tak berpenghuni. Pikiran menjadi lupa. Kehadiran menjadi alpa. Angin siang lewat begitu saja. Terumbu plastik menjadi kekayaan lautan, kapal-kapal perang diperbanyak. Tentara semakin lengkap senjatanya dan pulau kecil menjadi sasaran tembak berbagai mata angin. Kemanusiaan modal tipu-tipu, kasih sayang untuk tikam-menikam.
Kuburan tua merana, kuburan muda dipaksa rata, cinta dan rindu menjadi status media sosial. Pagi ini kawin, nanti sore cerai. Malam ini berpesta, esok pagi dikubur tetangga. Tumbuhan memakan hewan, hewan memakan manusia, manusia saling berebut obat. Semua sakit, semua berakit-rakit. Apakah ini negeri Berantah? apakah kita masih saudara? kapan kau kehilangan? begitu banyak pertanyaan penyidik menyiksaku.
Untunglah aku segera terbangun, kulihat kilatan pistol menodongku dengan mulut menganga.
SINGOSARI, 3 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H