Telah kuterima setangkup duka dunia dalam teras hatiku. Kutanam satu-persatu dalam kebun yang tak begitu luas. Sebuah tanah purba yang ditinggalkan oleh berbagai rindu leluhurku.
Sebulan lamanya, bunga-bunga mulai menebarkan wanginya. Menjalar tebar hingga telinga gunung, turun ke batu dan kali-kali dengan air yang beranjak pergi menjumpai muara. Waktu sedang khusyuk menderas sunyi.
Jika senja membasuh mukaku, kutulis sajak semerbak wangi di secarik kertas. Kulipat dan kuperas hingga menjadi anggur. Semalam kutenggak anggur itu hingga mabuk. Dunia menjadi purna duka.
Dalam mabuk itu kusebut nama bunga satu persatu, supaya sudi tinggal dalam vas bunga warna suka. Larutlah waktu menjadi gulita, aku terbata-bata melihatmu mabuk seusai mencium semerbak wangi. Ternyata kau dapati duka dan sunyi menjadi wangi yang terus menderas waktu.
SINGOSARI, 2 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H