Malam lajang memeluk ketiadaan. Lampu-lampu temaram menyaingi kunang-kunang. Bintang di angkasa menandakan kita masih ada di bumi. Tempat aku menemukanmu. Menyusup di bawah pintu membawa bau sajak usang. Memenuhi kamar kosong yang berbingkai sudut.
Sepasang mata dekil menjaga urat nadi menggenggam tali. Diatasnya balon warna-warni tampak gulita saja. "Mana ada bocah terjaga sepertimu pak tua?" Kepala dan topi anyaman itu menatap tanyaku. Sorotnya sunyi seperti bangku di taman kota. Tak satupun gerai kopi menghidupi semangat hidupnya.
"Apakah kehidupanmu memang menikam peruntunganku?" tanya pak tua membasmi gusarku. Aku semakin gagap tak sanggup menjawab hardiknya. "Kuulangi lagi anak muda, apakah aku satu-satunya penjual yang masih susah?" tanyanya meninggi, dan aku merendah. Utak-atik gawai membuka aplikasi online, barangkali dagangannya laku.Â
Tapi malam terlalu cepat melepas ketiadaan. Lampu-lampu berkabung. Bintang di angkasa luruh menandakan zaman tua bersemayam dalam bumi. Tempat aku kehilanganmu. Tertanam di bawah nisan membawa bau kembang melati. Menjegal semua mimpi indahku.
SINGOSARI, 18 Januari 2020Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI