Nona,
Kubutuh selembar langit lagi. Biarpun itu bekal terakhir kita. Sebelum siang membuat kita sama-sama ragu, bahwa sebenarnya kita hanya dikelilingi dongeng. Tentang telaga yang menyimpan ikan, tapi kini malah bernanah nyeri.
Mari kita jalan menanjak, di pucuk gunung itu ayahku pernah bercerita seorang arjuna mencari cinta. Juga seorang perempuan yang memetik pucuk daun teh. Serta pucuk-pucuk mesiu yang memburu hewan purba.
Nanti jika malam menebas cemara, maka kita benar-benar hanya berlampu bintang. Tak ada lagi cemara sebagaimana ibuku pernah cerita. Bahwa tanah lapang yang berkabut itu semakin bangkrut. Mungkin masih segelas oksigen saja, lumayan tak membuat kita megap-megap.
Nah, di pucuk malam yang tak mungkin lagi kita turuni itu, aku melolong kepada bulan, "Kaukah Nona itu? atau ini mimpiku di tanah yang nyeri?"
Aku memang sudah lelah meyakinkanmu. Tak ada lagi kalimat yang kusampaikan. Semua sudah dikavling-kavling. Siap dijual. Jadi kau tak usah mengeluh, simpan saja tenagamu, sebab perjalanan kemarau akan kita tempuhi. Saat itu sungai menjadi aliran sampah yang kita kumpulkan, dari cerita-cerita bersama kacang garing atau minuman ringan yang memberatkan hidup kita. Itulah mengapa kita sebenarnya sudah diambang mimpi yang teramat nyeri.
SINGOSARI, 18 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H