Biarkan air mata pulang, setelah kemarau puas menelanjanginya di tengah savana. Beri jalan pada langkahnya, jangan pernah tutup pintu. Sebab, mega masih menjadi atap bagi alam.
Saat kemarau, air mata mendengar kisah Tuhan, tentang lapang bermain yang ditumbuhi bangunan. Di sana pemilik modal menjajakan mimpi. Mereka bersepakat, semua lahan dijual saja. Tanam tonggak-tonggak yang kuat. Rawat ketakutan bagi orang-orang yang tak punya tempat tinggal. Pasti mereka akan memborong rumah.
Ditunjukkanlah sebuah adegan makhluk Tuhan. Peran antagonis dan protagonis. Sandiwara topeng-topeng berwajah manusia. Jalannya membusung saling beradu jabatan, di jalanan basah penuh gelisah.
Di penghujung senja basah, air mata ingin pulang, samudra sebagai kediaman, beribukan karang yang menjaga masa.
Dari jauh sudah nampak arak-arakan air mata meluap-luap. Menuruni mega menuju gunung. Menyapa lembah menjadi air bah. Bangunan di tanah lapang telah dibawa serta. Begitu juga pemeran sandiwara bertopeng manusia. Mereka menyatu di samudra untuk kembali kepada-Nya.Â
MALANG, 3 Januari 2019 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H