Aku datang jauh-jauh dari puncak. Menuruni perbukitan tandus, yang menyisakan lembah hitam. Sangat hitam saat malam, nampak pucat saat siang. Tak kujumpai pemilik rumah yang disewakan setiap akhir pekan, hanya itu yang kutahu. Tapi, orang-orang di lembah membiarkanku kedinginan. Menuruni makadam yang licik penuh intrik.
Sesampai kota, kusetorkan tanya pada parlemen. "Apakah hari-hari mereka masih sedia menampung suara?" Namun, ternyata parlemen sedang ada sidang tertutup.Â
Karena tertutup sekali, kutinggal saja. Kususuri trotoar menuju pimpinan kota. Kusodorkan tanya. "Apakah bapak punya kenangan dengan pepohonan di puncak sana?"Â Pimpinan kota sibuk mematahkan ranting-ranting pikiran rapuh, jatuh meruncing menimpa sepatu kilap, gagap dan mondar-mandir menangkapi waktu.Â
Aku letih, tak satupun jawaban kuraih. Kepada mega yang menghitam kuhubungi kawan-kawan. Siang menjadi pekat, kilat bersahutan merajam badai. Kawan-kawan segera datang, memanggul sekarung gerimis. Menggotong pepohonan yang terkapar di dekat villa.
Kawan-kawan berebut tiba paling dulu di kota. Jalan besar, jalan tikus diterobosnya. Tiba di kota, wajahnya kecoklatan murung. Saat itu senja telah tenggelam di pantai, aku tak perlu jawaban lagi, sebab muara sedang ramai oleh derita.
MALANG, 2 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H