Tubuhku penuh lebam, bukan peristiwa
sedih yang menangkup hati, tapi aksara-aksara
yang datang dan pergi menerjangku.
Dari pagi hingga malam aksara-aksara itu menembus dadaku,
hidung, pundak, lengan kanan dan juga menyeret-seret kakiku.
Aku tak tahu siapa aksara-aksara itu, begitu kuat
menerobos zaman. Dia bukan bosku, juga bukan guruku,
apalagi walikota yang siaga saat hujan di persimpangan
banjir.
Aksara-aksara itu telah memenjara kedua mataku
pada gulita yang belum pernah kujumpai sebelumnya.
Kadang-kadang ia berkisah tentang berita palsu, mengajak
begadang serta duduk-duduk mengabaikan percakapan.Â
Pernah suatu hari aksara-aksara itu kutangkap,
kusimpan dalam kotak penuh hantu, tapi ternyata
aku sendiri yang ketakutan. Jangan-jangan aksara-aksara
meninggalkanku dalam kamar.
Sampai kini, aksara-aksara terus berlarian kesana-kemari,
kecuali di sebuah tanah lapang yang dipenuhi regu tembak.
Disana aksara-aksara pesan terakhir telah membatu, siapa
peduli dan ambil hati. Sebab lukanya lebih parah dibanding
terjangan di tubuhku.
MALANG, 6 DESEMBER 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H