Sejak anak kita sudah besar, aku ingin menjaga api cinta. Semoga kau tak salah lihat bahwa itu bukan lilin, atau unggun yang berkecamuk. Tetapi, yang meleleh itu memang air mataku. Sedangkan abu pembakaran unggun itu ubanku. Sengaja aku berkarib dengan mentari. Supaya aku bisa memandang pipimu, karena masih membekas ciuman pertama dariku. Maka, kini keningku mulai bergaris. Sepadu dengan garis kehidupan.
Dulu kita saling menyuapi makan, seperti menyuapi anak kita. Kini kumohon, jangan banyak-banyak menyuapi aku. Rupanya aku harus banyak mereguk segelas senyum, supaya air kehidupan terbawa anak kita. Mungkin saja hari ini anak kita sedang singgah, pada muara kebahagiaan yang melabuhkan kepedihan kita. Dengan cinta, kepedihan itu disuapkan pada samudra. Maka, bergulunglah ombak-ombak tanpa kata-kata.
Kini, anak kita sudah meraih kehidupannya. Rumah ini kita yang menelanjangi. Kau habiskan saja sisa makanku. Lalu akan kurengguk sisa minummu. Semoga, dosa-dosa kita seperti rasa, larut dalam air yang kau aduk penuh kesabaran. Tuangkan saja pada pohon di depan rumah. Sebab aku tahu, tiap malam malaikat membagi embun untuk ujung dedaunan. Itulah pertanda kita benar-benar saling mencintai.
Malang, 1 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H