Saat senja menyaput duka, malam mengintai dari kejauhan. Gerombolan kabar-kabar palsu sedang menyusup, perlahan tapi pasti mangsa semakin tak berdaya. Begitu juga dengan dawai gitarku, nadanya terlalu tinggi. Harusnya besok aku mengiringi lagu kesedihan, untuk anjing liar yang dibantai oleh kebodohan.
Kucoba lagi mengubah nada-nada. Besok ada pesta pengusaha yang dimabukkan dunia. Sejak petang hingga malam persiapan sudah matang. Rencana merobohkan istana menjadi isu yang pasti. Mulut yang berkobar-kobar meninju langit. Kabar palsu sudah menjadi nutrisi yang menggemukkan otak mereka. Semakin mulut itu berkoar kobar, semakin besar pula kepalanya. Matanya melotot, rambutnya bergidik. Lalu, meletuslah amarah mereka.
Kepala yang terus membesar membuat mereka tak lincah lagi. Kemarahan yang mengurung imaji telah menjerat leher mereka. Gerombolan kabar-kabar palsu terus mencari mangsa. Mulutnya mengecup hangat, jemarinya memainkan gitarku, seluruh senarnya bergetar, mengiringi lagu kesia-siaan, sampai kepalaku membesar, mataku melotot dan rambutku juga bergidik.
Malang, 1 Juli 2019 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H