Ayah membelikanku pensil cantik, warnanya merah muda menarik, sesuai dengan tema perempuan yang estetik. Maka, tiap detik aku telah menggambar bercarik-carik.Â
Aku selalu gembira menggambar pertemananku, menggambar keceriaanku bersama ibu, juga gambar-gambar saat aku menyambut ayah pulang. Ayah membawakanku mainan serta jajanan kesukaan. Disana ada gambar ibu bahagia bersama ayah.
Ketika beranjak dewasa, aku semakin sering menggambar. Gambar tentang perjumpaanku dengan mantan yang kini menjadi pejabat. Mantanku sempat menawari untuk merajut cinta lama bersemi kembali, meski dia sudah beristri. Aku tegas menolak, tapi dalam gambar itu ada pria lain yang membawa pensil. Warnanya tak menarik, tapi ia tegas menggaris lurus dan melengkung. Sayang, saat pria itu menggambar wajahku, pensilnya patah. Pria itu mencari rautan kesana-kemari, tak menemukannya.
Aku tetap menggambar, namun kali ini tentang rumah ibadah yang penuh dengan cahaya do'a. Pensilku semakin menggila. Kuraut dan kugunakan terus untuk menggambar. Menggambar jemariku yang bersedekah, membaca kitab suci serta mencium tangan ibu. Sayang, raut muka ibu tak bisa kugambar penuh ceria. Sepertinya gambar pusara ayah yang menyebabkannya.
Suatu waktu aku menggambar sebuah rumah sakit. Terlihat orang-orang menjengukku di rumah sakit. Kata dokter aku kelelahan menggambar. Bahkan, ibu juga menasehatiku agar istirahat saja, jangan menggambar terus. Akupun menurut, rasanya tidak tega melihat ibu sedih. Tapi, pensilku sudah tak bisa kuraut lagi. Aku benar-benar tak bisa menggambar. Bahkan, untuk menggambar ibu yang menangisi jasadku.
Singosari, 14 Juni 2019
Pada hakikatnya hidup adalah menggambar. Gambar itu akan menjadi kenangan saat kita tak mampu menggambar lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H