Hampir sepuluh tahun aku tidak pulang kampung. Nasib perantau kadangkala kurang beruntung, apalagi anakku mulai pandai berhitung, tentang harta yang belum juga menggunung.
Selama perjalanan pulang, istri dan anakku senang. Hingga asyik melukis bayangannya masing-masing. Istriku sedang membayangkan ranjang, berikut atap rumah yang berlubang. Sedangkan anakku membayangkan rumah kakeknya yang baru dijumpainya sekarang.
Sore itu kita berjalan saja menuju rumah. Tubuhku ditindih barang bawaan yang menjajah. Sebagai ayah memang harus mengalah, membiarkan anak dan istri bebas melangkah. Sambil terus mengamati rumah-rumah, ternyata banyak rumah baru yang megah-megah.
Beberapa orang lama menyapa, dan beberapa orang baru memandang tanya. Terdengar pula suara anjing penjaga, serta langkah sandal jepit kita. Rupanya gang ini sudah berubah rupa.Â
Sampai di depan rumah, anakku terperangah, "Pak, yang inikah rumah kakek?"
"Bukan nak, itu terlalu mewah, ini rumah kakekmu!" Pintu gubug pinggir sawah mulai kubuka ruah. Terlihat ranjang berkasur merah, serta atap yang berlubang tengah. Bapak ibu mengulum senyum renyah. Tangannya menjulur murah, membuat anakku berhenti melangkah, membakar lukisan bayang rumah, saat senja mulai mengintip ditepi sawah.
Malang, 12 Juni 2019
Kadangkala bayangan ayah dan anak berbeda, dan memang apa yang dialami ayah dan anak TIDAK BOLEH sama.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H