Entah kenapa, sekali ini saya sependapat dengan Anies Baswedan mengenai kapabilitas Agus Yudhoyono untuk memimpin Ibukota Jakarta. Dan rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa calon gubernur DKI Jakarta, nomor urut 1 terlalu dipaksakan untuk ikut dalam kontestasi Pilkada DKI kali ini.Tentu saya tidak bicara syarat administratif, yang saya maksudkan adalah kompetensi dan kelayakan untuk menakhodai birokrasi DKI.
Walau berbeda sisi pengamatan, apa yang menjadi sorotan Anies yakni rekam jejak, saya memperhatikan Agus selama mengikuti kampanye dan juga pernyataan-pernyataan yang bersangkutan. Jauh dari kreatif dan nyaris tanpa visi untuk Jakarta . Agus terjebak dengan pola lama yang pernah dilakoni oleh  SBY, yakni pencitraan dan politik bagi-bagi uang.
Sebagaimana disampaikan oleh salah satu rival Agus di Pilgub DKI, Anies Baswedan." Lalu, siapa Agus ? Apa yang pernah diberikan pada warga Jakarta, berapa staf yang pernah dipimpinnya," ujar Anies di depan pengurus RT/RW se-Jakarta Utara di Gelanggang Remaja Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara, Minggu (27/11/2016). Sumber Sumber
Anies ada benarnya, tentu seorang pemimpin tidak jadi begitu saja, pemimpin itu dibentuk dan ditempa, bukan tiba-tiba muncul dadakan lalu dipoles sedemikian rupa supaya terlihat menarik. Jakarta menuntut seorang gubernur yang memahami persoalan DKI, serta mampu mencarikan solusi dan mengeksekusinya. Bukan pemimpin yang mengecilkan persoalan, seakan-akan masalah Jakarta bisa diselesaikan dengan memberi bantuan instan.
Sangat memalukan, bila warga Jakarta dikesankan suka meminta-minta dan terus bergantung dengan bantuan, layaknya anak-anak yang senang bila dijanjiin permen. Jakarta tidak bisa terus bergantung pada bantuan tunai pemerintah provinsi DKI, Justru masyarakat harus didorong untuk bisa  mandiri dengan menciptakan iklim investasi yang baik, lapangan kerja dan usaha, kemudahan layanan birokrasi, ditunjang oleh fasilitas umum dan sarana perkotaan yang memadai.
Walau tentu, ada bagian masyarakat yang kurang beruntung sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, namun pekerjaan seorang pemimpin tentu tidak hanya mengobral janji-janji surga layaknya Sinterklas yang kesana kemari kerjaannya hanya untuk mencari anak-anak untuk memberi hadiah.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab kemiskinan di Jakarta, dan tentu hal itu tidak bisa diselesaikan dengan batuan sosial, apalagi yang sifatnya tunai dan rawan untuk disalahgunakan. Sama halnya dengan peristiwa banjir rutin di Kampung Pulo, di mana setiap banjir banyak pihak sibuk memberi bantuan dengan alasan kemanusiaan.
Hal tersebut berlangsung dari tahun-ke tahun tanpa ada solusi. Sampai akhirnya, Ahok dengan segala resiko memutuskan untuk mengakhiri drama banjir Kampung Pulo dengan merelokasi warga untuk bisa menormalisasi aliran sungai.
Entahlah bagaimana cara Agus dalam mengatasi persoalan seperti di atas yang menurut pengakuannya tidak sampai hati menggusur warga, dan bersama pasangannya Sylviana akan melakukan pengkajian bersama. Artinya, mereka sampai sekarang belum tahu apa yang harus dilakukan guna mengatasi persoalan demikian. Dan entah sampai kapan mereka akan melakukan pengkajian, tidak ada yang tahu.Â
Menjanjikan aneka bantuan instan memang merupakan cara yang paling mudah untuk menarik perhatian warga. Namun, cara demikian hanya dilakukan oleh orang yang tidak siap dan tidak memiliki gagasan untuk mèmimpin Jakarta. Seorang gubernur dituntut untuk mampu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi warga Jakarta. Tentu dengan memberdayakan warga dan birokrat, bukan dengan memberi bantuan sosial kepada warganya.
Memang dan tidak bisa dipungkiri, dengan program yang sama sebelumnya, SBY lumayan berhasil memikat pemilih melalui program dana bantuan langsung tunai (BLT), dan menjadikannya berhasil memenangi pilpres. Strategi yang sama kemudian dicopy paste oleh Agus Yudhoyono untuk bisa memikat warga Jakarta untuk mau memilihnya di Pilkada yang akan datang. Agus-Sylvi berwacana  akan memberikan dana bantuan langsung sementara (BLS) sebesar Rp 400.000 per bulan bagi keluarga miskin, Rp 50 juta untuk modal usaha dan Rp 1 miliar per tahun untuk setiap RW.