Ternyata, kita masih belum sepakat tentang apa itu terorisme. Bahkan, pada satu atau beberapa peristiwa teror, secara terselubung masih ada pihak-pihak yang berupaya melakukan pembelaan atau pembenaran atas tindakan si pelaku.
Demikianlah juga berita yang sedang hangat, ketika Bareskrim Polri memanggil anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Eko Hendro Purnomo alias Eko "Patrio", untuk diminta keterangan, Kamis (15/12/2016). Â "Kami akan meminta klarifikasi atas pernyataan yang dia (Eko) sampaikan. Kami sudah layangkan surat ke dia," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Agus Andrianto.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi PAN di DPR, Yandri Susanto, mengatakan, berdasarkan informasi yang dia terima, pemanggilan Eko terkait pemberitaan media online. Dalam berita itu, Eko menyebut bahwa pengungkapan bom Bekasi pada Sabtu (10/12/2016) merupakan pengalihan isu kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Begitulah jika ada kasus terorisme, ada saja pihak yang menyebutnya sebagai pengalihan isu, konspirasi pihak tertentu untuk suatu maksud. Dan biasanya, tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat terhadap para pelaku akan mendapat protes keras dari kelompok ini.
Meski secara faktual mereka tidak ikut serta, namun pernyataan yang mereka buat, dan juga aksi protes yang selama ini ditujukan kepada aparat kepolisian (Densus 88) sebagai akibat dari penindakan yang dilakukan oleh negara terhadap para pelaku bisa saja merupakan indikasi " persetujuan" mereka terhadap aksi para pelaku.
Tentu, sikap seperti ini menjadi masalah dalam suatu relasi sosial. Di mana kehadiran negara dalam menindaknya sering kali dicurigai. Padahal, justru negara tidak boleh absen dalam situasi demikian, ketika ada nilai parsial yang hendak dipaksakan melalui tindak kekerasan, maka negara harus bertindak mencegah dan mengatasinya.
Seandainya kita sebagai satu kesatuan sosial bisa menghentikan terorisme, tentu negara melalui aparatnya seperti Densus 88, BIN, Polri dlsb, tidak perlu turun tangan dan melakukan tindakan represif terhadap aksi terorisme. Namun, karena kita ternyata tidak mampu, lalu siapa lagi yang akan menindak dan menghentikannya?
Apakah terorisme dibiarkan saja merajalela? Sebagaimana teriakan mereka yang menuntut supaya Densus 88 dibubarkan. Lalu, siapa yang akan menangani terorisme? Andai mereka bisa mencegah dan menghentikannya, tentulah Densus 88 tidak akan pernah ada dan tidak perlu diadakan.
Bahkan, sering kali mereka yang bersuara keras menentang tindakan Densus 88 justru belum berbuat apa-apa untuk membasmi dan menghentikan terorisme. Tentu, kita tidak memerlukan Densus 88, andai kita sebagai kesatuan sosial, mampu memberantas dan menutup pintu bagi para pelaku teror.
Andai mereka tidak lagi mendapat tempat, tidak lagi menemukan kesempatan, tidak lagi memperoleh simpati, tidak ada lagi yang membela, tentu mereka tidak akan pernah berpikir untuk ada dan melakukan aksinya di sini.
Berikutnya, masih banyaknya berkeliaran konten yang bermuatan terorisme di internet, dan bisa diakses dengan bebas. Apa yang salah dengan kominfo, Intelijen? Hal ini menjadikan banyak orang yang kurang terlatih menggunakan nalar menjadi mangsa empuk. Juga dengan mereka-mereka yang labil dan tidak cukup mampu menggunakan akal sehat dalam memilah-milah informasi, sangat mungkin menjadi korban kemudahan dalam mengakses informasi terorisme lewat internet.