Menjelang perhelatan Pilkada DKI tahun 2017, yang mana tahapannya saat ini sedang berjalan, ingatan  saya tertuju kepada Samuel P. Huntington. Ia  pernah mengutarakan pemikirannya tentang  Benturan peradaban atau clash of civilizations sebagai sebuah teori, bahwa identitas budaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Dalam perspektif Huntington, ia membagi dunia ke dalam setidaknya sembilan  peradaban ( lihat di sini),  atau identitas terkemuka, dengan peradaban utama yang menjadi sorotan dalam teorinya yang paling rentan untuk berbenturan adalah peradaban Islam dan Barat.
Huntington, dalam teorinya terlihat menyederhanakan  baik Islam maupun Barat sebagai suatu kekuatan tunggal, sehingga peradaban akhirnya tereduksi sebagai suatu paham keagamaan, masih berdasarkan tingkat kerentanan konflik menurut  Huntington, yakni seakan-akan menjadi  benturan antara Islam vs Kristen, di mana Kristen disematkannya kepada peradaban Barat, dengan  Israel yang juga dimasukkannya ke dalamnya.
Meski perspektif Huntington ini tidak sepenuhnya benar, namun tidak sedikit kelompok, organisasi yang memahaminya demikian, sebut saja kelompok Boko Haram di Afrika, Taliban di Afghanistan, ISIS di Irak dan Suriah dan simpatisannya yang ada di berbagai negara.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, kelompok-kelompok demikian sebenarnya  sudah tidak lagi murni berdasarkan kepentingan fundamentalisme agama, namun sudah bercampur dengan kepentingan ekonomi dan politik. Dan bahkan sebenarnya lebih dominan, walaupun yang selalu dimunculkan adalah sentimen agama sehingga basis dukungan dan simpati bisa tetap terpelihara.
Dalam konteks Pilkada DKI, teori Huntington bisa menjadi relevan ketika SARA ( suku, agama, ras dan antar golongan) khususnya etnis dan agama kembali  mengemuka. Perspektif Huntington menjadi relevan ketika kepentingan ekonomi dan politik berusaha menggandeng kepentingan agama, dan mulai menggalang kekuatan sebagai kesamaan identitas guna menolak kepemimpinan Ahok, serta kelanjutannya untuk lima tahun ke depan melalui Pilkada DKI 2017.
Entahlah, jika situasi seperti event  Pilkada DKI ini ikut dalam pengamatan Huntington ketika ia membangun teorinya. Karena sesungguhnya, yang terjadi adalah benturan kepentingan politik dan ekonomi yang diboncengkan melalui peradaban (baca:agama).
Legitimasi peradaban ini menjadi signifikan, karena benturan ekonomi dan politik melalui jalur yang tersedia diyakini tidak cukup kuat untuk bisa menyingkirkan petahana. Dengan demikian, perlu mendapatkan ruang peradaban atas dasar kesamaan tujuan, untuk bisa dikemas sebagai perjuangan bersama, guna menyingkirkan petahana melalui proses politik, sebagai benturan mendasar yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori yang dimaksudkan Huntington.
Dalam konteks Pilkada DKI, masih dalam perspektif Huntington, identitas peradaban bisa dikategorikan ke dalam tiga kekuatan utama yang mengemuka antara lain: Etnis dan Agama, ekonomi dan politik. Sangat bisa, antar identitas membaur, walau tidak selalu dalam kadar seimbang. Misalnya, etnis-agama dengan salah satu kepentingan, baik ekonomi maupun politik, bahkan juga bisa ketiganya, yang sudah pasti membuat hipotesanya Huntington menjadi tidak relevan.
Namun, menjadi relevan ketika yang mengemuka adalah benturan etnis-agama petahana dengan pihak-pihak yang hendak menguncinya di ruang itu, dengan menaruh kepentingan ekonomi dan politik mereka di dalamnya.
Kita bisa melihat eskalasi ajakan untuk tidak memilih pemimpin kafir, etnis Cina, atau sekaligus keduanya. Bahkan, di mana-mana mulai marak gerakan untuk menggiring opini, bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah benturan peradaban yang terkonsentrasi dalam ruang etnis- agama warga mayoritas dengan petahana.
Kita semakin terbiasa melihat secara kasat mata benturan dimaksud dikumandangkan, dengan mengikutsertakan  affirmasi dari tokoh-tokoh agama dan etnis, sebagai konfirmasi bahwa yang sedang terjadi benar merupakan benturan peradaban.