Tidak ada orang, yang mana event Pilkada DKI 2017 paling membekas di hatinya selain  Yusril Ihza Mahendra. Ia pada akhirnya  menyimpulkan apa yang terjadi dengan berujar; "Jangan mudah mempercayai orang." Yusril benar, dan ini bukan kata lembaga survey, pengamat, atau tim sukses paslon. Ini merupakan kisah nyata Yusril Ihza Mahendra. Setelah berbulan-bulan berjuang, mendatangi partai demi partai, blusukan, dan apapun yang bisa dilakukaknya sudah dilakukannya dengan sekuat tenaga demi satu tujuan: merontokkan elektabilitas petahana. Dan sudah tidak pernah hilang dari mimpinya, bertanding head to head dengan Ahok di Pilkada DKI 2017.
Di menit-menit akhir perjuangannya, ternyata begitu mudahnya ia dicampakkan, betapa kejamnya dunia politik itu ternyata. Harapan yang dibangunnya dengan keringat dan airmata hari demi hari,  ternyata hanya mainan belaka bagi pihak-pihak kepada siapa selama ini ia telah menaruhkan asanya yang sedemikian besar.
Dimulai dengan PDIP yang pada akhirnya memilih Tetap Ahok, berlanjut kemudian dengan Gerindra yang ternyata lebih tertarik dengan sesuatu yang menarik di celana Sandiaga, membuat Yusril sempat hampir menyimpulkan, bahwa ternyata hidup di Jakarta memang benar tidak mudah, termasuk urusan politiknya juga.
Situasi kemudian berubah, Yusril melihat secercah sinar terang, ketika ada tiga partai politik menjanjikannya harapan berupa tiket untuk maju di Pilkada. Asa yang tadinya hampir dikuburnya, segera dirangkainya kembali, dan ia pun kembali tampil percaya diri, dan  dengan sangat meyakinkan meminta semua pihak untuk menunggu tanggal mainnya, ketika namanya dideklarasikan sebagai cagub.
Apa nyana,  harapan Yusril kepada tiga partai politik itu ternyata harapan kosong belaka, dan beberapa hari menjelang pendaftaran pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta ditutup, janji partai yang sebelumnya diberikan kepada Yusril ternyata hanya tinggal janji. Yang ada, justru nama lain yang diambil dari negeri antah berantah yang  diusung ketiganya ditambah PAN.
Padahal, pendukung Ahok sudah mengakui bahwa Yusril merupakan penantang paling potensial yang bisa mengimbangi Ahok. Apalagi jika berhadapan head to head dengan Ahok, dan pengusungnya bisa mengelola isu SARA secara efektif, bisa jadi pada akhirnya Yusrillah yang  unggul. Ahokers harus mengakui bahwa haters Ahok bak menemukan pentungan untuk membalaskan sakit hati, kebencian, dan ketidaksukaan mereka terhadap Ahok melalui senyuman Yusril saat ia menyindir Ahok.
Namun, itulah jalan hidup Yusril, yang kali ini benar-benar tidak habis pikir, apa salah dan dosanya hingga ia diperlakukan demikian oleh ketiga partai itu. Andai sebelumnya ia tidak diberi janji, tentu hatinya tidak sesakit ini. Sungguh menyesakkan memang. Andai ini terjadi bukan kepada Yusril, entahlah akan seperti apa jadinya.
Dan akhirnya, publik DKI disuguhi tiga pilihan paslon untuk mereka pilih di Pilkada tahun depan, dan sudah pasti tanpa opsi nama Yusril. Selain petahana, pasangan Ahok-Djarot, ada nama Anies Baswedan-Sandiaga dan Agus-Sylviana. Pasangan yang namanya disebut terakhir, sudah pasti akan mengingatkan Yusril akan pengkhianatan tiga partai terhadap dirinya. Dan malam itu, malam terakhir ia harus menitikkan airmata, setelah mendapati realita bahwa namanya memang tidak  pernah diinginkan untuk menjadi cagub yang akan berlaga di Pilkada DKI 2017.
Kekecewaan  Yusril yang terbesar ialah, tatkala  ia pada akhirnya gagal membuktikan ucapannya bahwa ia mampu menumbangkan petahana seperti janjinya kepada para pendukungnya, dan mereka-mereka yang sebelumnya berharap banyak kepada dirinya untuk memberikan pukulan telak kepada Ahok di Pilkada 2017. Dan janji itu, sampai kapanpun tidak akan pernah bisa diwujudkannya karena ia tidak diberi kesempatan untuk itu. Â
Begitulah realitas politik yang ada, pada akhirnya masyarakat harus bisa cerdas, bahkan dalam konteks Pilkada DKI harus bisa lebih cerdas dari Yusril sehingga tidak bisa lagi terpedaya oleh parpol dengan slogan-slogan dan janji-janjinya. Perlu ditanyakan, apa sesungguhnya alasan parpol  tidak mendukung Ahok?  Jangan-jangan, mereka sebenarnya sangat tergiur untuk mengelola  APBD DKI yang luar biasa besarnya itu, dan selama ini mereka tidak dilibatkan oleh Ahok.
Atau, bisa saja parpol-parpol ini sebenarnya hanya mencari sosok yang  bisa memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi mereka, baik secara individu untuk pribadi petinggi parpol, maupun untuk parpol yang mereka pimpin. Dengan demikian,  kapabilitas dan elektabilitas seperti yang ada pada Yusril tidak lagi menjadi pertimbangan utama bagi mereka. Mereka berpikir sangat pragmatis,  dengan  asumsi bisa memoles tampilan paslon dan  mengelabui pemilih, dengan demikian, apa yang mereka inginkan bisa tercapai.Â