Sebenarnya saya tidak terlalu yakin dengan pendapat banyak orang mengenai Satrio Piningit yang tertulis di buku Jangka Jayabaya. Sama halnya dengan tulisan ini, saya juga tidak terlalu yakin dengan apa yang saya tuliskan.
Jika saya yang menulisnya saja tidak yakin, apalagi anda yang membacanya. Dengan demikian, saya sudah menyatakan di depan bahwa saya tidak pernah meminta anda untuk yakin dengan tulisan saya ini.
Namun tidak apa, kita coba saja membacanya dengan rileks, tanpa sentimen apapun yang bisa membuat kita emosian bahkan sebelum membaca akhir dari tulisan ini.Â
Kita mulai saja!
Siapakah sesungguhnya yang dimaksudkan Satrio Piningit itu?
Dari beberapa laman bacaan yang pernah saya kunjungi, ia digambarkan antara lain dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Satrio Piningit berwujud manusia biasa, tampan berwibawa dan tegas. Bersenjata trisula wedha. Artinya Satrio Piningit adalah manusia, sama seperti kita. Parasnya tampan dan berwibawa. Ia bersenjatakan trisula artinya tiga kekuatan yang menjadikannya hebat dan ketiganya saya tafsirkan adalah: Bersih, Transparan, dan Professional.
Coba kita lihat foto di atas sejenak, apakah Ahok masuk kategori tampan dan berwibawa? Jawabannya : Pasti!
Satrio Piningit disebut sakti mandraguna tanpa aji-aji. Kesaktiannya bukan dikarenakan oleh jimat, atau benda-benda maupun ritual mistis apapun. Saya jadi teringat akan perkataan Yusril Ihza Mahendra yang pernah menyebut Ahok itu  sakti. Orang hebat pasti kalah dengan orang sakti. Entahlah,  jika sakti yang dimaksud Yusril merujuk ke ramalan Jayabaya.
Selanjutnya, Satrio Piningit tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati, bijak, dan cermat. Ada banyak hal yang bisa kita cermati selama Ahok menjabat Gubernur DKI. Ia seakan ada di setiap tempat untuk memata-matai tindakan bawahannya dan juga yang mengherankan, ia bisa membaca sesuatu yang tidak beres di balik anggaran yang kemudian kita dengar adanya istilah anggaran siluman.
Yang juga menjadi catatan penting, ia tidak takut berbeda dengan kelakuan dan sifat orang-orang di masanya jika hal itu dianggapnya tidak benar dan melanggar aturan. Kita bisa mendengar coretannya yang menggelitik "pemahaman nenek lu" dan juga teriakan "maling" yang pernah terlontar darinya sebagai bentuk kegeraman dan ketidaksetujuannya atas malpraktik anggaran yang sedang terjadi.