Beberapa waktu yang lalu,  publik diramaikan dengan berita pernikahan ketiga Politisi PKS yang merupakan mantan ketua Komisi I DPR RI, dan yang kini sudah dipindahkan ke komisi IV, Mahfudz Siddik, dengan mantan anggota KPI Agatha Lily dengan embel embel yang sudah pasti membuat berita itu makin menarik, Agatha Lily sudah menjadi "mualaf".  Tentu kita tidak bermaksud mengurusi perihal mualafnya Agatha Lily yang adalah personal domain yang bersangkutan, dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun titik.Â
Peristiwa ini tidak kurang membuat ingatan kita tertuju kepada  Yusuf Supendi.  Ia pernah mengungkapkan kekesalannya pada pengurus salah satu partai yang menurutnya merupakan kumpulan orang tukang kawin. Di siniÂ
Urusan kawin mengawin ini memang urusan pribadi seseorang. Namun tidak bisa tidak, kadang muncul tanya di pikiran;  apa sih bagusnya punya bini banyak? Apakah hidup kurang bahagia jika dengan hanya satu bini? Tentu, ukuran bahagia untuk setiap orang tidak selalu sama. Namun, benarkah seseorang akan lebih bahagia dengan bini yang banyak?
Cahyadi Takariawan, pernah menulis buku 'Bahagiakan Diri dengan Satu Istri'. Buku terbitan Era Intermedia, Solo itu mencoba  mengupas sisi-sisi lain dari keluarga yang berpoligami. Buku ini tidak kurang dan kemudian menjadi suatu referensi yang bisa mengubah paradigma  di kalangan wanita  yang selama ini ( terpaksa) mendukung poligami.  Bahagiakan Diri dengan Satu Istri disambut gembira oleh wanita yang tidak menyetujui poligami tentunya, bahkan di kalangan kader wanita PKS yang sebelumnya banyak yang bingung dalam menyikapi poligami. Buku ini menjadi semacam perlawanan wanita yang dijajah pria.
Namun sebaliknya, para kader pria yang sudah atau akan berpoligami bereaksi dengan keras. Buku Cahyadi tak pelak memicu kontroversi yang panas. Sebab di kalangan PKS, para petingginya banyak yang berpoligami. Rupanya, buku yang menganjurkan lelaki memiliki satu istri itu menjadi antitesa bagi politisi PKS. Di siniÂ
Seberapa pentingkah bagi seorang pria untuk beristri lebih dari satu?
Hal ini kembali menjadi urusan pribadi seorang tentunya, apa yang dia ingini dari seseorang yang disukainya. Jika kita suka dengan wajah, sikap dan perilaku seseorang dan jika ia masih single, haruskah kita memperistrinya? Sementara, bisa saja kita sudah memiliki istri, bahkan mungkin sudah memiliki lebih dari satu. Suka, senang dengan seorang wanita bukan berarti harus menjadikan mereka istri. Apalagi jika seseorang sudah mempunyai istri.
Jika kita senang melihat seorang remaja putri, atau seorang gadis berperangai baik, berprestasi, berwajah cantik, lalu kita mulai berpikir bagaimana caranya untuk bisa memperistrinya, maka itu merupakan pertanda bahwa kita sangat egois, dan hanya mementingkan diri sendiri. Jangan hanya mengingini yang terbaik untuk diri sendiri, yakni kesenangan diri sendiri. Mari pikirkan bagaimana supaya ia juga mendapatkan yang terbaik untuk dirinya! Seseorang yang pantas, yang dicintai dan juga mencintainya. Hal ini bisa melindungi anak remaja, gadis untuk tidak jatuh kedalam pelukan lelaki yang sebenarnya lebih pantas menjadi ayah atau kakeknya.
Apa yang mendesak  seorang pria beristri harus mengawini seseorang yang ia sukai?
Tentu tidak ada, namun ada banyak hal yang mendorong seseorang untuk melakukannya.  Dan kita menyaksikan seorang gadis remaja yang masih bersekolah, dan semestinya lebih pantas menjadi anak bahkan cucu ketimbang dijadikan istri muda oleh seorang pria bangkotan. Bahkan, jika ia belum lulus sekolah, maka ia pun kemudian diijon. Ketika hasrat sudah sedemikian berkobar, dengan ditopang oleh kuasa dan kemampuan finansial, maka keinginan untuk memperistri orang yang disukai menjadi sulit dibendung.Â
Tidak peduli apakah si anak remaja bahagia, atau sebenarnya terpaksa harus merasa bahagia. Ia dipaksa untuk kehilangan masa mudanya dan juga teman-teman sebayanya. Ia dipaksa menjadi dewasa, menjadi orang tua dan bahkan menjadi ibu sebelum waktunya. Dan sudah barang tentu  ia sangat dirugikan, karena biar bagaimanapun, setiap orang berhak untuk mendapatkan yang terbaik bagi dirinya, termasuk urusan kawin.