Gila! Mungkin, itulah kata yang bisa dialamatkan pada Presiden Filipina karena telah berani mengumpat dan menyebut Obama sebagai "anak pelacur" sebelum mereka dijadwalkan  bertemu di Laos. "Memang siapa dia?" Demikian Duterte, yang tidak sudi jika diceramahi Obama soal hak asasi manusia. Duterte, belakangan mendapat kecaman dari  banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan PBB akibat kebijakan perangnya melawan narkoba yang  telah menewaskan sedikitnya 1.916 orang hingga 23 Agustus ( Sumber: Kepala Kepolisian Filipina) termasuk 756 diantaranya yang dilakukan oleh polisi terhadap terduga pengguna narkoba  tanpa melalui proses peradilan.Â
Duterte tampaknya tidak menghiraukan kecaman tersebut, dan tetap pada keputusannya dan tidak berpikir untuk menghentikan langkahnya itu. "Siapapun punya catatan  buruk tentang pembunuhan tanpa proses hukum, namun jangan membuat isu tentang pemberantasan kejahatan", demikian Duterte membela kebijakan keras yang diterapkannya sejak dilantik 25 Juli lalu.
"Double your efforts. Triple them, if need be. We will not stop until the last drug lord, the last financier, and the last pusher have surrendered or [been] put behind bars -- or below the ground, if they so wish,"Â demikian Duterte sangat geram terhadap pelaku kejahatan narkoba pada pidato pelantikannya.
Lalu, apa kira-kira dampak dari pernyataan Duterte ini ?
Kecil kemungkinan Indonesia akan meniru langkah yang diterapkan oleh Filipina ini, karena dinilai sangat tidak manusiawi dan juga para terduga pelaku kejahatan narkoba dibantai tanpa melalui proses pengadilan. Namun, apa yang dilakukan oleh Filipina setidaknya bisa membuka mata kita bahwa kejahatan narkoba ini sangat serius.Â
Tidak tanggung-tanggung, Presiden Duterte langsung memimpin pemberantasan terhadap kejahatan ini tanpa ampun, meskipun dikecam oleh banyak pihak. Ia teguh pada pendiriannya, bahwa kejahatan narkoba adalah kejahatan yang sangat luar biasa, dan cara penanggulangannya juga tidak bisa lagi dengan cara biasa, hingga bandar dan mafia  yang paling akhir menyerah atau dikirim ke alam baka.
Duterte sepertinya berprinsip, lebih baik sekarang berapapun harganya, daripada terlambat. Ia sepertinya  tidak merasa bersalah jika harus mengirimkan sepuluh ribu orang ke alam baka, sekalipun itu  tanpa proses pengadilan, daripada jutaan rakyat Filipina menjadi korban, dan akhirnya upaya apapun menjadi sangat terlambat untuk dilakukan.
Apa yang terjadi di Filipina belumlah seburuk yang terjadi di sini di Indonesia, jika di Filipina diperkirakan pengguna narkoba mencapai 1.3 juta orang dari sekitar 100 juta penduduk Filipina ( sumber : Dangerous Drugs Board,Philippines), maka di Indonesia diperkirakan ada sekitar 5.9 Juta orang pengguna narkoba ( Sumber : Kepala BNN, Nov 2015) dan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya.
Mengutip kesaksian Freddy Budiman melalui ketua Kontras Haris Azhar, dugaan keterlibatan aparat dalam memudahkan kegiatan peredaran narkoba membuka mata kita semua bahwa  kejahatan narkoba bukan lagi kejahatan biasa, ada kekuatan yang membuatnya sulit disentuh, sehingga pemberantasannya juga menjadi sangat sulit dilakukan.Â
Bahkan, jika pengakuan Freddy Budiman benar-benar terjadi, yakni adanya oknum TNI berpangkat  bintang dua yang setingkat dengan jabatan Pangdam, dan konon menurut pengakuan itu menggunakan mobil TNI guna membawa pengiriman narkoba dari Medan ke Jakarta, maka kita tidak tahu lagi siapa yang harus memimpin pemberantasan narkoba ini. Mustahil mobil TNI, yang ditumpangi Jenderal TNI bintang dua ada yang berani mencegat, apalagi memeriksa isinya di jalan. Jika sudah demikian, lalu kita harus bagaimana?
Mungkin, ini juga yang terjadi di Filipina, sehingga Presiden Duterte merasa harus memimpin langsung tindakan pemberantasan narkoba ini. Sepertinya, ia ragu dengan keseriusan bawahannya dan keberanian mereka untuk membasmi kejahatan ini.