Mohon tunggu...
Omri L Toruan
Omri L Toruan Mohon Tunggu... Freelancer - Tak Bisa ke Lain Hati

@omri_toruan|berpihak kepada kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kecerdasan Sosial, Membasmi Terorisme Tanpa Kekerasan

2 September 2016   16:05 Diperbarui: 2 September 2016   17:58 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : picturesquote.com

Seandainya kita  sebagai satu kesatuan sosial bisa menghentikan terorisme, tentu negara melalui aparatnya berupa Densus 88, BIN, Polri dlsb, tidak perlu turun tangan dan melakukan tindakan represif terhadap aksi terorisme. Namun karena kita ternyata tidak mampu , lalu siapa yang akan menindak dan menghentikannya? Apa harus kita biarkan merajalela? Seperti teriakan mereka yang menuntut Densus 88 dibubarkan. Lalu siapa yang akan menangani terorisme? Jika mereka bisa mencegah dan menghentikannya, tentu Densus 88 tidak akan pernah ada dan diadakan.

Bahkan seringkali mereka yang bersuara keras menentang tindakan Densus 88 justru belum berbuat apa-apa untuk menghentikan terorisme. Tentu, kita tidak memerlukan Densus 88, andai kita sebagai kesatuan sosial, mampu memberantas dan menutup pintu bagi para pelaku teror. Andai mereka tidak lagi mendapat tempat, tidak lagi menemukan kesempatan, tidak lagi memperoleh simpati, tidak ada lagi yang membela,  tentu mereka tidak akan pernah berpikir untuk ada dan melakukan aksinya di sini.

Berikutnya; masih banyaknya berkeliaran konten yang bermuatan terorisme di internet dan bisa diakses dengan bebas, sebagaimana pengakuan si pelaku yang belajar merangkai bom lewat internet, terinspirasi oleh Al Baghdadi lewat internet. Apa yang salah dengan kominfo? Intelijen? Hal ini menjadikan banyak orang seperti IAH menjadi mangsa empuk, juga mereka-mereka yang labil dan tidak cukup mampu menggunakan akal sehat dalam memilah-milah informasi akan menjadi korban kemudahan mengakses informasi terorisme di internet.

Informasi ini sampai level tertentu bisa berhasil membentuk pemahaman seseorang dan meyakininya sebagai suatu kebenaran. Dengan sedikit pemicu, pengetahuannya ini sangat bisa menggerakkan yang bersangkutan untuk melakukan apa yang diyakininya. Dan ini tentu sangat membahayakan dan sudah pasti akan merusak relasi dan harmoni sossial, ketika si pelaku tidak lagi mampu menggunakan kecerdasannya dalam kehidupan sosial.

Selanjutnya; dalam hidup bersama kita masih saling curiga satu sama lain. Antara satu kelompok dengan kelompok yang berbeda masih menyimpan rasa tidak percaya walau kadang disembunyikan atau disamarkan. Mengapa harus ada dusta diantara kita? Demikian juga dalam hidup berbangsa dan bernegara, kita masih belum merasa sebagai saudara sebangsa setanah air. Bahkan kita bisa dengan mudahnya terhasut dan terpancing untuk bermusuhan dengan sesama saudara kita sebangsa hanya oleh hasutan dan apa yang terjadi di negara lain. Kenapa?

Saya tidak yakin bahwa si pelaku kenal dengan pastor Pandiangan yang hendak dijadikannya target, demikian juga si pastor yang tidak mengenal si pelaku. Akan tetapi, bagaimana bisa si pelaku memiliki niat yang demikian kepada si pastor yang sama sekali tidak dikenalnya? Apa yang membuatnya merasa benci dan merasa perlu untuk mengeyahkan si pastor  (dengan kelompoknya )? Terkecuali sebelumnya mereka pernah terlibat perselisihan, mungkin masih bisa dicerna akal sehat. Ini, kenalpun tidak, namun bisa memiliki hasrat demikian. Sungguh mengerikan!

Disini kita bisa mengerti bahwa si pelaku sebenarnya hanyalah korban. Bagaimana ia dan banyak saudara kita yang lain tidak terjebak dalam tindakan terorisme jika kita sebagai satu kesatuan sosial belum bisa menyepakati apa itu terorisme. Jika konten yang mengandung terorisme masih mudah diakses.  Jika kita dalam hidup bersama masih saling curiga. Jika kita dalam hidup berbangsa masih bisa begitu mudah dihasut oleh pihak luar dan kejadian di luar sana yang tidak ada kaitannya dengan kita sebagai satu bangsa.

Semestinya kita bisa menghentikan orang-orang seperti IAH menjadi korban, jika kita dalam kehidupan sosial bisa memberikan input kebenaran-kebenaran universal. Menutup akses   konten yang mengandung muatan terorisme masuk  dan mendiami  pikiran siapapun, sehingga mereka tidak dibentuk oleh konten-konten demikian, dan juga kebenaran-kebanaran parsial, tetapi kebenaran universal yang kokoh, yang akan  membuat siapapun menjadi cerdas. Pada akhirnya, dalam kehidupan sosial, kita menjadi cerdas, sesuatu yang sangat diperlukan dalam relasi dan membangun harmoni sosial.

Kita pasti bisa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun