Review Film “The Architecture of Love”
Architecture of Love: “Semua gedung punya cerita. Semua manusia punya trauma”
Film “Architecture of Love” merupakan sebuah drama romantis yang diadaptasi dari novel best-seller karya Ika Natassa. Berlatar di kota New York, Amerika Serikat yang terkenal dengan keindahannya, film ini menyajikan kisah cinta yang bukan hanya menghangatkan hati, tetapi juga menggugah emosi penonton melalui perjalanan batin tiap karakternya.
Kisah dalam “Architecture of Love” berpusat pada karakter utama yang dibintangi oleh Putri Marino, Raia. Seorang penulis terkenal yang sedang mengalami kebuntuan dalam hidup dan karirnya sebagai penulis. Merasa kehilangan arah, ia memutuskan untuk berlibur ke New York, kota yang selalu menjadi sumber inspirasi bagi banyak seniman dan penulis. Di kota tersebut, Raia bertemu dengan seseorang yang akan mengubah dunia nya. River, seorang arsitek asal Indonesia yang memiliki latar belakang yang tidak jauh berbeda dengan Raia, pergi melarikan diri ke kota Big Apple dengan tujuan berlibur sekaligus mencari inspirasi baru di kota tersebut. Pertemuan mereka yang tidak disengaja itu ternyata kembali membuka luka lama sekaligus menciptakan perasaan baru untuk saling mengenal satu sama lain lebih dalam.
Dalam film ini, hubungan Raia dan River tidak sekadar tentang cinta antara dua orang. Keduanya berjuang untuk menghadapi masalah atau isu pribadi, seperti trauma, ketidakpastian akan masa depan, dan keinginan untuk menemukan kembali makna dalam hidup. New York, dengan segala keindahannya, menjadi latar yang tepat bagi dua karakter ini untuk menyusun kembali ‘arsitektur’ cinta dan kehidupan mereka.
Ditambah dengan kegelisahan River yang harus memutuskan antara ego nya atau kebahagiaan adiknya yang ternyata juga menyukai Raia tanpa sepengetahuannya. River yang tadinya mengalah demi kebahagiaan adiknya pun berujung sia-sia, karena Raia tidak memiliki perasaan yang sama dengan adik River, Ega. Dengan mengorbankan perasaannya, Ega juga mengalah demi kesehatan mental dan kebahagiaan River agar dapat bersama-sama dengan Raia.
Walaupun sebenarnya, hubungan Raia dan River tidak semudah itu. River masih dengan luka masa lalunya, trauma nya, dan rasa bimbang di hatinya, Ia tetap menyalahkan dirinya atas kejadian di masa lampau yang menjadi penyebab trauma nya terlukis hingga kini. Sementara itu, Raia pun merasa bingung atas sikap River yang seolah-olah maju mundur dengan perasaan dan perilakunya yang membuat Raia tidak mampu melanjutkan penulisan bukunya. Hingga akhirnya River memberanikan diri, keluar dari zona nyaman dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan meninggalkan Raia di New York hanya dengan memberi sebuah pesan melalui adiknya, Ega.
Seiring berjalannya waktu, dengan kejadian yang tidak diduga ternyata keduanya kembali bertemu di Indonesia. Hubungan antara Raia dan River berkembang dari sebuah luka yang perasaannya terombang-ambing tidak jelas menjadi sebuah romansa yang perlu dinamika, diwarnai dengan perbedaan sudut pandang, prinsip hidup, ideologi, dan tantangan yang mereka hadapi masing-masing. Film ini mengeksplorasi tema cinta yang tidak hanya berbicara tentang hubungan pribadi, namun juga tentang bagaimana latar belakang mereka dapat mempengaruhi dan tumbuh bersama.
Kelebihan Film
1. Visual yang Memukau
Salah satu kelebihan utama dari “The Architecture of Love” adalah penggunaan visual yang indah, khususnya dalam menangkap suasana New York. Setiap sudut kota, dari kafe-kafe kecil hingga bangunan-bangunan bersejarah, ditampilkan dengan sangat apik, membuat penonton seolah-olah ikut berpetualang di kota cinta ini. New York tidak hanya menjadi latar tempat, tetapi juga seperti karakter tersendiri dalam film ini, memberikan warna dan nuansa romantis yang kuat.
2. Chemistry Antar Pemeran
Chemistry antara pemeran utama, Raia dan River, terasa sangat natural dan emosional. Akting mereka berhasil menghidupkan karakter dengan begitu meyakinkan, terutama dalam adegan-adegan yang menunjukkan kedalaman perasaan kedua karakter. Penonton bisa merasakan konflik batin dan kebingungan mereka dalam menentukan pilihan hidup, yang membuat film ini terasa lebih nyata dan relatable.
3. Alur Cerita yang Mengalir
Meski bergenre romantis, “The Architecture of Love” tidak mengikuti pola cerita klise tentang kisah cinta yang mudah ditebak. Film ini lebih fokus pada pertumbuhan pribadi setiap karakter. Penonton diajak untuk melihat bagaimana keduanya belajar dari masa lalu dan merancang kembali masa depan mereka, baik dalam hal karir maupun hubungan pribadi. Alur cerita yang lambat namun menyentuh ini memberikan ruang bagi karakter untuk berkembang dengan alami.
Kekurangan Film
1. Pacing yang Cenderung Lambat
Bagi penonton yang lebih suka film dengan alur cepat dan penuh aksi, “The Architecture of Love” mungkin terasa terlalu lambat. Beberapa adegan terasa berlarut-larut, terutama ketika Raia dan River terlibat dalam percakapan panjang tentang kehidupan dan cinta. Meskipun hal ini dimaksudkan untuk membangun kedalaman karakter, ada beberapa momen yang bisa dipersingkat tanpa mengurangi esensi cerita.
2. Karakter Pendukung Kurang Dimaksimalkan
Meskipun fokus utama film ini adalah hubungan antara Raia dan River, beberapa karakter pendukung terasa kurang dimanfaatkan. Padahal, beberapa di antara mereka memiliki potensi untuk memperkaya cerita, baik dari segi konflik maupun penjelasan latar belakang para karakter utama. Kehadiran mereka terkadang hanya sebagai pengisi tanpa memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan cerita.
Pesan yang Disampaikan
Salah satu pesan kuat yang disampaikan oleh film ini adalah pentingnya memberi ruang untuk menyembuhkan diri sendiri sebelum benar-benar membuka diri untuk cinta yang baru. Melalui karakter Raia dan River, film ini menunjukkan bahwa hubungan yang sehat adalah hubungan yang dilandasi oleh penerimaan akan diri sendiri dan masa lalu. Keduanya harus menghadapi luka-luka masa lalu mereka sebelum dapat membangun sesuatu yang lebih baik di masa depan.
Selain itu, “The Architecture of Love” juga menggambarkan bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk yang sempurna. Kadang, cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, baik dalam diri pasangan maupun dalam situasi yang dihadapi bersama.
Opini Pribadi
Secara pribadi, saya merasa “The Architecture of Love” adalah film yang sangat menyentuh dan cocok bagi mereka yang menikmati drama emosional dengan latar kota yang indah. New York dalam film ini bukan hanya sekadar tempat, tetapi juga metafora dari perjalanan batin karakter-karakternya. Film ini mengajarkan bahwa cinta dan kehidupan adalah sesuatu yang harus terus dibangun, seperti sebuah arsitektur yang memerlukan waktu dan usaha untuk menjadi indah.
Namun, bagi saya, salah satu kelemahan utama film ini adalah temponya yang terlalu lambat di beberapa bagian. Meskipun hal ini membantu membangun atmosfer dan karakter, ada beberapa momen di mana saya merasa cerita bisa lebih dipadatkan tanpa kehilangan esensi emosionalnya.
Secara keseluruhan, “The Architecture of Love” adalah sebuah film yang memikat hati dengan visualnya yang indah, pesan yang dalam, dan karakter yang berkembang dengan baik. Film ini mengingatkan kita bahwa cinta adalah sesuatu yang perlu dirancang dan dibangun, seperti sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh setelah melalui proses panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H