Walau tidak dilahirkan di keluarga yang kaya raya, saya bersyukur kebutuhan dasar tercukupi oleh orang tua. Setidaknya, sejak menempuh pendidikan di Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, saya tidak harus pusing memikirkan biaya pendidikan.
Sesekali sih, orang tua meminta saya untuk membantu jaga toko milik keluarga. Kalau sekadar menata barang, membeli bahan toko dan jaga kasir sih saya pribadi tidak merasa keberatan. Toh, waktunya nggak lama dan nggak setiap hari juga sehingga mengganggu waktu belajar di sekolah atau les tambahan.
Intinya, saya lebih beruntung ketimbang sebagian teman lain yang harus putus sekolah karena tidak ada biaya, atau selepas sekolah harus bekerja penuh memantu orang tua.
Walau begitu, sejak kecil saya dan saudara (adik dan kakak) dididik untuk tidak dibiasakan mendapatkan apa yang dimau sekehendak hati. Untuk kebutuhan primer pun, harus disiasati dan direncanakan sebaik mungkin.
Maklum, yang mau dibiayai bukan saya seorang, melainkan juga 3 saudara lainnya yang juga menempuh pendidikan sesuai jenjang usianya.
Makanya, jika membutuhkan satu peralatan belajar pendukung, apalagi yang bernilai cukup mahal, saya harus sounding sejak jauh-jauh hari. Duh, nggak ada ceritanya bilang ke orang tua butuh barang A, dan maksa minggu depan harus ada. Yang seperti itu tidak berlaku di keluarga kami.
SAAT BUTUH LAPTOP UNTUK KULIAH
Untuk kebutuhan ngetik dsb, sejak SMA sih orang tua sudah membelikan seperangkat komputer untuk dipakai bersama.
Saat kuliah, di semester-semester awal, saya masih bertahan dengan menggunakan komputer itu. Namun, lama-lama menjadi tidak praktis dan saya mulai kepayahan dalam mengerjakan tugas.Â
Apalagi saya mengambil jurusan Teknik Informatika yang mata kuliahnya menggunakan beberapa bahasa mesin sulit dikerjakan jika menggunakan komputer tua di rumah sebab performanya sudah menurun.
Di kampus pun sebetulnya disediakan lab komputer. Namun, jauh lebih praktis jika mengerjakan tugas/berlatih merancang program menggunakan laptop sendiri.