Film ini dibuka dengan adegan saat seorang pria paruh baya (Lee Yang-Hee) dan istrinya (Chae Kyung-Lee) berdebat di depan sebuah laptop untuk menentukan jenis huruf/font apa yang akan mereka gunakan untuk mendesain sebuah spanduk.
Sang istri keukeuh menggunakan font jenis georgia yang sayangnya ketika diketikkan, maka huruf-huruf dalam bahasa Korea akan berubah bentuk menjadi kotak-kotak dan tak dapat terbaca.
"Kita perlu mencari tukang rancang khusus jika kamu tetap ingin menggunakan jenis huruf itu," ujarnya.
Sang istri tampak cemberut. Dengan kondisi salah satu kelopak mata turun, bibir bawah miring ke kiri, dari kacamata penonton jelas si istri tengah sakit. Benar saja, rupanya ia terkena stroke. Untuk berjalan, ia harus menggunakan tongkat secara perlahan. Jika ingin bergegas, cara paling mudah bagi si suami tentu dengan menggendongnya.
Dengan demikian, jelas untuk urusan ke kamar mandi sang istri bergantung penuh kepada suami. Makanya, saat si suami bekerja sebagai buruh kasar di sebuah pabrik, dengan menggunakan sepeda yang telah dimodifikasi dengan cara menambahkan gerobak dorong di belakangnya, si istri akan ikut serta.
"Apa kau ingin ke kamar mandi?" sahut suaminya dari kejauhan.
Melihat itu si istri menggelengkan kepala. Jelas, kondisi pabrik sebetulnya tak memungkinkan untuk si istri dapat beristirahat dengan baik. Namun, kondisi itulah yang harus mereka hadapi.
Lantas, apa maksud pasangan suami istri ini ingin membuat spanduk? Rupanya, spanduk itu dimaksudkan sebagai jalan protes mereka atas kematian sang anak (Kim Kyu Nam) yang baru-baru ini ditemukan tewas bunuh diri.
Sebelum meninggal, si anak yang masih duduk di bangku SMA rupanya terlebih dahulu diperkosa oleh belasan pria. Ironisnya, para pelaku masih dapat berkeliaran bebas bahkan masih dapat bersekolah.