Saat berita tentang tiga anak yang memasukkan ibu mereka di panti jompo meledak seminggu belakangan, saya berusaha nahan untuk tidak terlalu banyak komentar.Â
Sebab, saya, dan juga para netijen nggak tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi pada keluarga tersebut. Persis yang diucapkan Harper Lee di novel A Kill to Mockingbird, "you never really understand a person untul consider things from his point of view. Until you climb inside of his skin and walk around in it."
Respon terbanyak yang saya lihat sih komentar netizen berupa pelabelan anak durhaka dan juga kalimat-kalimat semacam, "seorang ibu bisa membesarkan banyak anak, sedangkan anak-anak belum tentu mau merawat ibu/ayahnya sendiri."
Apa yang terjadi pada ibu tersebut miris memang. Namun, lagi-lagi terlalu gegabah jika kita melihat hal ini dari kacamata orang luar sebab saya pikir, ketiga anak tersebut pun mengambil keputusan itu tidak dengan mudah, terlebih dengan paradigma masyarakat kita yang condong mudah melabeli.
Anak aktif dilabeli sebagai anak bandel.
Orang depresi dilabeli sebagai orang yang nggak beriman.
Nah, termasuk kejadian ini yang begitu mudah orang melabeli mereka sebagai anak durhaka.
Di sosial media, walau pun yang menghujat lebih banyak ketimbang yang (berusaha) memaklumi, namun menarik jika melihat hal ini dari kedua sudut pandang.Â
Di satu sumber di sosial media, saya membaca bahwa hubungan sang ibu dan anak memang tidak terlalu baik. Saya tidak tahu kebenarannya seperti apa, namun akuilah, di luar sana toxic parent itu memang ada.