Saya pribadi, bukanlah orang yang terlalu religius. Atau, seenggaknya, di lingkungan sosial media, hampir nggak pernah saya mencitrakan diri saya sebagai orang yang religius karena faktanya saya memang banyak kekurangannya dan masih suka "ngebandel". Untuk urusan ibadah, ya sebagai umat muslim, saya berusaha menjalankannya sebaik mungkin walaupun tetap jauh dari sempurna.
Belajar tentang kehidupan dapat dilakukan dari berbagai macam cara. Bahkan, seperti yang saya ceritakan di tulisan mengenai keterkaitan Waisak dan Ramadan ini, dari sebuah perjalanan pun saya dapat belajar banyak tentang kehidupan.
Sebagai umat muslim, pedoman saya sih jelas ya, alquran dan hadist. Namun, secara saya manusia biasa, untuk menyerap ilmu yang ada di kitab suci itu butuh sebuah pemahaman yang baik. Nggak bisa satu ayat diterjemahkan secara mentah karena harus dilihat keterkaitannya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya dan sejarah kapan ayat itu diturunkan.
Nah, di sinilah peran seorang guru diperlukan. Umumnya, seseorang dapat disebut sebagai guru dikarenakan dasar keilmuannya yang jelas. Misalnya menempuh pendidikan agama Islam di mana, atau sepak terjangnya dalam berdakwah sudah teruji. Tapi, saya pribadi nggak selalu berpatokan pada itu. Banyak sahabat-sahabat saya sendiri yang dengan ilmu yang ia punya, dapat saya sebut sebagai guru karena mereka inilah orang-orang terdekat yang dapat langsung menasihati saya.
Jangan Salah Pilih Pengajian
Ada sebuah jargon/istilah yang sebetulnya nggak elok didengar tapi lumayan menggambarkan situasi saat ini. Istilah tersebut ialah, "mending kemasukan setan daripada kemasukan tuhan." Well, ungkapan itu untuk menggambarkan orang-orang yang baru belajar sedikit ilmu agama namun tingkah lakunya seolah sudah dapat menggenggam dunia.
Orang-orang seperti ini biasanya tanpa segan dapat menceramahi dan menilai hidup orang lain, dengan cara-cara yang sebetulnya jauh dari baik. Di lingkungan saya sendiri ada beberapa sosok yang seperti ini. Setiap kali ada pertemuan, selalu menyampaikan "ceramah"nya padahal dirinya sendiri jauh dari memadai ilmunya. Lha wong salat 5 waktu aja nggak. Bayangin coba!
Soal pengajian, belasan tahun lalu perkumpulan yang seyogyanya berfaedah ini tercoreng karena ternyata ada kelompok-kelompok pengajian yang memiliki tujuan merusak antar sesama. Ya itu tadi, atas dasar pemahaman yang pendek, mereka berdalih bahwa itulah yang seharusnya mereka lakukan sehingga kemudian muncullah teror-teror bom bunuh diri misalnya.
"Yan, ustad tadi bilang, kalau jamaah mau menjadikan dia pimpinan, maka nanti di padang mashsyar maka dia yang akan membimbing para jamaah," kata ibu saya suatu kali.
Nah loh, yang kayak gini aja udah salah ya. Kok ya saya menangkap kesan sosok si ustad ini menganggap dirinya jauh lebih hebat ketimbang nabi Muhammad Saw ya. Saya yang mendengar itu langsung bersikap tegas, "udah gak usah lagi datang ke pengajian itu, bu. Kayaknya gak bener."
Benar saja, di beberapa lingkungan tak jauh dari tempat tinggal kami, ada lagi pengajian lain yang pimpinannya mengaku sebagai nabi. Wow! Di zaman semoderen ini gitu, di saat banyak orang yang mengaku nabi dan malaikat dipenjara. Saya gak habis pikir masih ada saja orang yang berani mengaku seperti itu dan lebih-lebih, kok ya masih ada yang mau percaya!