Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menyetor Uang Receh di Bank. Apa Benar Sudah Tidak Boleh?

9 Januari 2015   23:09 Diperbarui: 4 April 2017   16:48 1990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_389661" align="alignnone" width="620" caption="Sumber gambar http://metalluminati.com/free-downloads-more-money/"][/caption]

Aku tergelitik membagikan sebuah berita di akun facebookku beberapa hari lalu mengenai seorang nasabah bernama Zulkifli yang ditolak transaksi perbankannya karena menyetorkan uang logam/receh di sebuah bank di kotanya, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Berbagai komentar muncul di akun facebookku tersebut, hingga kemudian muncul beberapa diskusi seru yang sepertinya menarik jika tuliskan, terlebih aku dulu pernah bekerja sebagai teller di sebuah bank, sehingga sedikit banyak aku dapat bercerita mengenai hal ini. :)

Seperti yang dilansir Kompas dot com di sini. Senin (5/1/2015) Zulkifli bermaksud mentransfer uang sejumlah Rp.510.642. “Saya serahkan sejumlah uang, termasuk satu keeping uang logam pecahan Rp.500 dan dua keping pecahan Rp.100, namun teller menolak uang logam tersebut,” ujar Zulkifli. Karena kesal, Zulkifli lantas menuliskan hal tersebut di social media hingga kemudian berita tersebut meluas dan menarik perhatian banyak orang, termasuklah aku.

“Jadi, apa benar sudah tidak boleh menyetor uang logam di bank?” Jawabannya : tidak benar!

Sampai hari ini uang logam rupiah masih dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negeri ini. Bahkan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang, tepatnya pasal 33 ayat 2, UU No.7 Tentang Mata Uang yang berbunyi, “Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah)”

Nah loh, lantas kenapa si mbak teller ini menolak? Pertama, karena si mbak nggak mau dipusingkan dengan pembukuan di sore hari. Kedua, karena ketidaktahuan si mbak kalau menolak rupiah bisa dipenjara! Kalo aku sih lebih yakin ke alasan yang pertama ya. Hehe, si mbak teller masih nggak nyadar betapa perkasanya sosial media dewasa ini.

[caption id="attachment_389662" align="alignnone" width="624" caption="Sumber gambar : http://regional.kompas.com/read/2015/01/06/10302971/Posting.Bukti.Transferan.Pria.Ini.Kesal.BRI.Tidak.Mau.Terima.Uang.Logam"]

14207945251549942913
14207945251549942913
[/caption]

“Karena ditolak, saya ganti dengan pecahan uang kertas Rp.1000, tapi teller itu tidak kembalikan selisih dari yang harus saya terima, sebesar Rp.300. Itu kan hak saya. Saya setor Rp.700, tidak diterima, giliran saya ganti Rp.1000, malah tidak dikembalikan sisanya,” ujar Zulkifli.

Nah, salah satu temanku di facebook juga berkomentar yang sama yang pada intinya teller atau pihak bank sudah diuntungkan dalam hal ini. Benar sekali, sekecil apapun nilainya, tetap saja teller secara pribadi sudah diuntungkan. Tindakan ini tidak dapat dibenarkan. Salah satu temanku berkomentar seperti ini.

1420794568548149491
1420794568548149491

Setuju sekali, seharusnya seorang teller harus menyiapkan uang kecil. Kalo aku pribadi, untuk menghindari komplain dari nasabah semacam itu, aku menyiapkan uang receh dari rumah. Jika pekerjaan mau lancar, ya harus usaha sedikit lebih banyak. Jangan hanya mau mengeluh karena cabang tidak menyiapkan stok receh sehingga nasabah yang jadi rugi.

Jika kasusnya seperti yang salah seorang temanku lontarkan di FB tersebut dimana kelebihan Rp.77, ya mau gimana lagi, karena memang tidak ada pecahan uang sebesar Rp.77. Untuk memperkecil kerugian nasabah, katakanlah diberi kembalian Rp.50, namun, terus terang, uang pecahan Rp.50 sudah sudah ditemukan. Jika sudah demikian, setidaknya nasabah mengerti, namun teller pun jika melihat gelagat nasabah kurang berkenan, ya berikan saja pecahan Rp.100 sehingga teller akan nombok Rp.33. Nombok sejumlah itu bisa dihilangkan secara sistem di saat pembukuan kas.

“Lagian transfer kok aneh begitu jumlahnya, kenapa gak dibulatkan sekalian dari awal?”

Mungkin ada ya sebagian teman yang berpikiran seperti itu. Tapi kalo aku sih cukup memahami. Di beberapa transaksi keuangan, jumlah penyetoran dengan angka unik seperti itu normal terjadi karena sudah ditentukan secara oleh sistem. (contohnya pengisian deposit maskapai penerbangan), sehingga jika TIDAK disetorkan sesuai petunjuk, akan panjang urusannya karena jumlah uang yang disetorkan akan tidak otomatis sukses (deposit terisi) harus dilakukan proses secara manual lagi agar semuanya dapat berjalan semestinya.

“Lantas apakah tidak ada solusi terbaik?”

Kalau ketemu nasabah yang ngomel karena hal seperti ini, aku bisa jadikan kesempatan tersebut untuk mengedukasi nasabah. Sebetulnya, jika nasabah tidak ingin dirugikan, maka lakukanlah transaksi dengan cara debet rekening. Jadi berapapun uang yang akan disetor, akan terdebet sesuai nominal penyetoran. Mau Rp.1.025.038 misalnya? Bisa! Bahkan seharusnya jika nasabah melakukan transaksi melalui ATM atau fasilitas mobile banking (SMS, Internet atau Aplikasi mobile) nasabah tidak perlu mengantri di bank. Betul, kan?

Lantas bagaimana akhir kisah komplain pak Zulkifli terhadap pihak bank? Syukurlah, akhirnya pihak bank melakukan klarifikasi sekaligus permohonan maaf atas apa yang telah terjadi.

Nah sekarang aku mau cerita sedikit (eh mungkin banyak ya) tentang beberapa pengalamanku dulu saat masih menjadi seorang teller. Dulu, waktu aku belom kerja di bank dan terdampar di teller, Aku suka malu kalo cuma datang ke bank untuk nyetor duit dengan jumlah yang sedikit. Seenggak-nggaknya, kalo mau nyetor aku harus bawa duit di atas 200 ribu.

Duit yang aku bawa juga dengan kondisi yang baik. Malu dong ah bawa duit 200 ribu tapi isinya sepuluh ribuan semua, lecek pulak! Apalagi kalo duitnya sudah mengenaskan. Malu kuadrat dah!

Awal-awal jadi teller, aku shock! Apa yang aku lakuin dulu ternyata sangat berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Nasabah, kayaknya emang sengaja ‘ngebuang’ duit jelek ke bank. Sungguh, aku gak masalah kok kalo duit jelek yang akan disetorkan sudah disusun dengan rapi. Kadang ya, duit yang jelek dan bagus dijadiin satu. Bahkan kopurnya juga dicampur-campur. Aaarggghh.

“Bapak mohon maaf, untuk selanjutnya, terlebih dahulu uang bisa disusun rapi dan dipisahkan perkopur ya, Pak.”

“LHA APA URUSAN SAYA? ITU KAN KERJAAN KALIAN!” jawab si Bapak nyolot. Tuh kan repot jadinya!

“Jika uangnya sudah rapi, transaksi bapak akan jauh lebih cepat,” jawabku dengan senyum yang sesungguhnya dipaksain. *maklum habis kena bentak hehe*

PENGUMUMAN : DEAR NASABAH YANG TERHORMAT. INGET YA! TUGAS UTAMA TELLER ITU MENGHITUNG UANG! BUKAN MERAPIKAN UANG! Teriakku dalam hati.

Misalnya salah satu nasabah prioritas. Namanya Pak Hendi. Beliau sih baik, tapi aku suka rada-rada mual kalo ngehitung duit beliau. Kenapa? Karena Pak Hendi ini tukang jagal! Weew, pembunuh dong? Beliau adalah salah satu distributor daging sapi terbesar di Palembang.

Tiap kali nyetor, setidak-tidaknya 300 hingga 500 juta duit yang dia bawa. Bayangin! Duit sebanyak itu dalam keadaan basah dan berbau amis daging. Huek! Untung aja kopurnya besar. Aku mending bunuh diri deh kalo harus menghitung uang sebanyak itu tapi pecahannya 10 ribuan.

Pak Nafi lain lagi. Sebagai tangan kanan perusahaan pembuatan balok es, uang yang disetor Pak Nafi kebanyakan logam pecahan 500-an. Mabok bener deh kalo beliau datang dan membawa sekardus uang logam berjuta-juta! Walau begitu, uangnya harus diterima dong ya!

Uang kertasnya lebih parah lagi. Kopur tercampur dan uangnya bulukan parah! Belom lagi kondisi uangnya yang basah dan berpasir. Lengketnya bukan main. Hand sanitizer sebotol langsung habis. Pokoknya, aku bisa meraung-meraung kalo kedapetan Pak Nafi.

Dear nasabah aku yang baik. tahu nggak, ketika aku mendapati uang bulukan semacam itu, artinya aku harus bersiap-siap lembur. Pekerjaan yang biasanya kelar jam 6 sore harus kepending karena aku harus menyortir uang nasabah. Nelangsa banget! Makanya, kadang ada teller yang mengarahkan nasabah untuk menyetor ke cabang besar. Kenapa? Karena di cabang besar ada orang yang direkrut khusus sebagai tim sortir untuk merapikan uang.

Ada beberapa hal yang seharusnya nasabah lakuin sebelum menyetorkan uang di bank. Sekali lagi, sebetulnya sih untuk kebaikan dan kecepatan transaksi nasabah juga!

Uang jangan sekali-kali di stepler.

“Biar gak buyar.” Begitu argumen nasabah. Hmm, itu sih masih normal. Seorang nasabahku yang lain pernah bilang, “sengaja di necis, biar gak diambil tuyul.” Nooooh, juara kan komen nasabahku? Tapi nyatanya, tanganku kerap berdarah-darah ketika membuka stepler yang tertempel di duit. Berkali-kali malah! Masih mending ya kalo duit yang dikokot itu per 1 juta atau lebih. Aku pernah dapet nasabah yang setor 5 juta uang 50 ribuan, tapi tiap-tiap 100 ribu, uangnya dinecis pake stepler yang gede! Alhasil beberapa duit robek! Hiks. sebetulnya banyak cara yang bisa dilakukan agar duit rapi dan gak buyar kok! Pake karet gelang kek, atau bikin ban uang hand made untuk mengikat uang juga bisa.

Makanya sempet ada jargon dikalangan para teller. “Seseorang bukan teller sejati kalo belum ngerasain selisih kas dan tangan yang berdarah-darah!” Aku setuju!

Uang dipisahkan perkopur dan pergepok.

Kopur itu adalah pecahan uang. Nominal yang kita kenal sekarang yakni pecahan IDR 1000, 2000, 5000, 10.000, 20.000, 50.000 dan 100.000. (beserta uang logam Rp.50, Rp.100, Rp.200, Rp.500 dan Rp.1000 tentu saja) Memang sangat jarang nasabah yang menyetor uang namun membawa satu jenis kopur saja. Katakanlah akan menabung 2 juta. Bisa saja dalam dua juta tersebut terdiri dari berbagai macam kopur. But, please dong, susun uangnya dari yang paling besar ke kecil, atau sebaliknya. Itu untuk memudahkan teller menghitung uang dengan cepat dan teliti.

Satu gepok uang itu terdiri dari 100 lembar. Jika menyetor dalam jumlah banyak, pisahin aja langsung pergepok, sehingga begitu datang ke bank, teller tinggal menghitung uang di mesin.

Aku pernah kedapetan nasabah yang membawa uang kopur 5000 dalam satu plastik hitam penuh! Uangnya masih acak dan gak tersusun rapi. Begitu nasabah ngeluarin tuh duit, uang melayang kemana-mana. Oh my lord, satu nasabah aja aku habis waktu setengah jam!

Uang disusun perkepala

Maksudnya uang disusun dengan susunan gambar yang senada. “Buat apa? Kan sama saja?” Eits jangan salah. Dengan penyusunan uang dengan susunan gambar yang sistematis, teller bisa mengecek keaslian uang di lampu UV dalam satu kali tarikan pengecekan.

Dengan menarik satu ujung sisi uang yang sudah diikat dengan karet gelang atau di ban, teller bisa mendeteksi keaslian uang dalam sekali tatapan. Pada tahu dong kalau tanda air itu terdapat di sisi belakang duit? Nah jika uangnya masih kebolak-balik, tentu teller akan membutuhkan waktu lebih lama pendeteksian di lampu UV. Iya kalo nyetornya cuma 10 juta. Masih sangguplah bolak-balik uang segitu. Nah kalo setornya 1 miliyar?

Uang dalam kondisi rapi tanpa terlipat

Sebagian nasabah akan melipat-lipat sebagian uang untuk mendandakan uang tersebut pas hitungan persekian jumlah. Misalnya, setiap 10 lembar uang akan dilipat lalu digabungkan sehingga menjadi klop satu gepok. Hmm, boleh-boleh aja sih. Teller juga bisa menghitung uang di mesin dengan mengurangi lipatan yang ada. Jadi misalnya uang lembaran 100 ribu dilipat per satu juta lalu dijadikan pergepok. Dengan hitungan 90 lembar di mesin hitung, artinya uang klop 10 juta. Tapi bagi seorang teller, itu masih beresiko jika diantara uang yang dilipat ada uang palsu. Ujung-ujungnya bisa nombok!

Uang plus contekan

Bagaimanapun teller itu manusia biasa yang kadang khilaf kalo ngitung duit. Beberapa nasabah aku yang kecerdasannya di atas rata-rata, kerap bawa contekan perhitungan uang. Maksudnya, si nasabah punya catetan berapa uang yang ia bawa dan akan disetorkan.

“Yang 100 ribu itu 4,5 juta. Yang 20 ribu 1,8 juta, 5 ribuan 740 ribu. Total Rp. 7.040.000,-” Nah, kalo nasabah sudah sebegitu yakin dengan contekannya, teller tinggal mengklopkan perhitungan dengan catatan yang dibawa. Jadi lebih praktis dan meyakinkan, bukan?

Itu sebagian kecil cara praktis bertransaksi di teller. Sungguh! Sekecil apapun usaha seorang nasabah untuk mempermudah kinerja seorang teller, akan sangat berdampak besar terhadap transaksi secara keseluruhan. So, mengenai beberapa tips di atas. Please... Duit eh Do it!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun