Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Balada SelebTwit: Antara Follower Palsu dan Dunia Penerbitan

9 Januari 2015   17:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_389574" align="aligncenter" width="480" caption="Sumber gambar : jasonsdrawingboard"][/caption]

“If you do not tell the truth about yourself, you cannot tell it about other people.”Virginia Woolf.

Sejak (mencoba) menulis sebuah buku, ada sebuah pertanyaan besar yang terus berada di benakku. “Punya buku yang bagus dulu, baru follower akan datang. Atau, punya follower yang banyak dulu, baru buku dapat diterbitkan.” Hmm, apa sih hubungannya antara jumlah follower di twitter dan dunia penerbitan buku?

Maaf, bisa jadi isu ini sudah basi karena sudah banyak dibahas dimana-mana. Pernah denger nggak kalo ada penerbit yang KONON katanya mensyaratkan… eh bentar, katakanlah dalam bahasa yang lebih halus “menghimbau” agar penulis yang ingin naskahnya diterbitkan KUDU bin WAJIB punya banyak follower dulu di twitter?

“Mau kamu bukunya kami terbitkan? Memangnya follower kamu seberapa banyak sih?”

Gitu kali ya proses “tawar menawar” antara penerbit dan penulis (baru) itu. Isu mengenai ini sempat heboh beberapa waktu lalu sampai-sampai sebuah editor penerbitan terkenal sempat menyampaikan sudut pandangnya mengenai isu ini di twitter. Kurang lebih, si editor yang juga penulis (dan kebetulan cantik) itu bilang bahwa isu semacam itu tidak benar. “Yang jadi penilaian tentu saja kelaikan naskah. Jika followernya banyak ya itu nilai plus yang dapat digunakan untuk promosi nantinya.”

Oke, editor tersebut sudah membantah. Nah, bagaimana dengan penerbit lainnya? Yakin nih mbak/mas editor penerbit lain berpikiran yang sama juga? Kegelisahan seperti ini juga disampaikan oleh Alitt si @shitlicious di postingannya yang ini. “Yang udah pernah gue temuin sih, itu berkat ulah penerbit ‘nakal’ yang mengejar kuantitas penjualan dibanding kualitas produk” NAH LOH!

“Ond of the greatest regrets in life is being what others would want to be, rather than being yourself.” – Shannon L.Alder.

Kekhawatiranku dan mungkin calon-calon penulis lainnya mengenai hal ini sepertinya memang terlalu berlebihan ya. Buktinya masih ada (baca : banyak) tuh buku-buku baru yang diterbitkan walaupun jumlah follower si penulis tidak banyak. Bahkan (mungkin masih) ada penulis yang tidak memiliki akun sosial media satupun. Artinya ada nilai lebih besar dari si penulis sampai-sampai penerbit mau menerbitkan karyanya walaupun artinya penerbit akan melakukan promosi jauh lebih besar karena si penulis tidak melakukan banyak hal.

Apa sih untungnya punya follower banyak?

Salah duanya adalah eksistensi dan aktualisasi diri (baca : pencitraan). Jika kamu SelebTwit sekaligus buzzer, tentu hal ini akan SANGAT SANGAT dan SANGAT menguntungkan. Kenapa? Perusahaan-perusahaan yang akan menggunakan jasamu akan senang jika kamu berceloteh mengenai produk mereka.

“Wah si anu followernyaa banyak. Kalo produk kita diulas sama dia, bisa jadi banyak yang penasaran dan beli nih,” gitu kali ya pemikiran marketing perusahan tersebut.

Kamu TravelBlogger sekaligus SelebTwit? Wah ini dulang emas kamu banget deh! Kamu bisa diajakin jalan-jalan gratis! Gak peduli kalo blogmu jarang diupdate atau sekalinya update kualitas tulisannya bikin beristighfar, yang penting follower kamu banyak maka kesempatan kamu untuk diajak jalan-jalan GRATIS terbuka lebar. Yihaaa!

I’m not upset that you lied to me, I’m upset that from now on I can’t believe you,” Friedrich Nietzsche.

Oke balik lagi ke fenomena penulis-penerbit dan jumlah follower. Coba lihat gambar di bawah ini. Di bagian atas adalah SelebTwit sekaligus penulis buku dan yang di bagian bawah adalah salah satu penulis cerdas kesukaanku –Agustinus Wibowo. Sudah berbulan-bulan aku memikirkan fenomena ini. “Kok bisa ya penulis sekelas Agustinus yang bukunya berdampak besar pada pembacanya memiliki follower lebih sedikit ketimbang SelebTwit yang baru mengeluarkan satu buku itu?”

Dulu sih aku mikirnya mungkin karena bukunya Agustinus segmented. Juga, karena beliau terlalu sibuk sehingga tidak terlalu fokus ke akun sosial medianya. Sedangkan SelebTwit yang (mendadak jadi penulis) satu itu fokus penuh terhadap promosi bukunya. Makanya followernya banyak. *anggukangguk*

Jawaban dari pertanyaan besar yang ada di benakku selama berbulan-bulan itu terjawab sudah beberapa hari lalu ketika seorang teman menginformasikan mengenai Twitter Audit. Yakni semacam aplikasi yang memungkinkan penggunanya mengecek langsung seberapa banyak follower real dan fake dari sebuah akun twitter. Dan… aku tercengang dengan hasilnya!

1420774783912726872
1420774783912726872

Hal-hal semacam inilah yang menjadikan semakin maraknya jasa “peternakan” follower. Coba liat dua akun di bawah ini yang menyediakan jasa peternakan follower. Gilak! Dengan 5 ribu rupiah pun kamu sudah bisa dapetin ratusan follower! Kalo di Palembang, dengan duit segitu paling banter akan dapetin 1,5 buah pempek loh. Terus terang, iklan semacam ini sering sekali aku dapatkan hanya aku sendiri tidak terlalu yakin awalnya. “Heh, bener nih dengan duit 5 atau 10 ribu jumlah follower akan bertambah banyak? Jangan-jangan nih penipuan sekelas Mama Minta Pulsa.” Hehehe. Dan ternyata, bener loh, seorang teman secara terbuka mengakui kalau dia salah satu pengguna jasa layanan peternakan follower ini.

1420774872557953033
1420774872557953033

Apakah semua akun twitter dijamin bersih dari follower ‘robot’? jawabannya NGGAK. Akun pribadiku sendiri yang followernya seupil itu ternyata juga ada follower abal-abalnya haha. Beberapa teman yang juga ngecek ternyata sama. Semua ada akun follower bodongnya. Namun, persentasenya masih wajar. Sama Twitter Audit masih dikasih jempol ke atas. Beda banget sama yang SelebTwit yang aku bandingkan dengan Agustinus Wibowo itu yang mendapatkan jempol ke bawah. Nah loh!

14207750442017642322
14207750442017642322

Selanjutnya, apakah salah membeli follower? Hmm, ya tergantung dari niatnya ya. Kalau sudah ngebahas apakah ini tindakan yang salah atau nggak, sepertinya berada di wilayah gray area. Toh si SelebTwit “membeli” follower dengan uangnya sendiri. Jika kelak ada perusahaan atau sponsor yang tertarik, ya “salah sendiri”, kan? *walau disisi lain pemilik akun twitter yang jujur sudah dirugikan*

Yang jelas, tindakan tersebut bukan tindakan yang baik. Setidak-tidaknya dia sudah ‘menipu’ dirinya sendiri. Tujuanku menuliskan hal ini hanya untuk meluapkan kegelisahan. Semoga tidak akan pernah ada lagi penerbit yang menilai sebuah naskah hanya berdasarkan jumlah follower penulisnya. Sedangkan, para perusahaan dan sponsor dapat dibukakan matanya untuk lebih bijak memanfaatkan SelebTwit sebagai buzzer sebagai salah satu sarana promosi produknya. “Hei om, itu yang ngefollow kebanyakan ‘robot’ loh, emang robot punya duit buat beli dagangan situ?” :)

Sumber gambar sapi : http://jasonsdrawingboard.blogspot.com/2011/01/to-err-is-bovine-2.html


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun