Di sebuah komplek perumahan yang antar penghuni lebih sering beradu otot rahang, hanya karena si upik berantem dengan si upik, hanya karena merasa berisik oleh tetangga sebelah yang membunyikan musik sebuah group band yang telah di ubah menjadi irama dangdut koplo dengan volume keras melebihi batas.
Kampung di sebuah komplek perumahan, masyarakat marginal yang ingin merasakan nikmatnya hidup di kota besar namun dengan penghasilan minim, akhirnya terseok-seok, Â tetap terpinggirkan oleh kejamnya suasana kota.Â
Sesungguhnya komplek tersebut hanya berjudul komplek perumahan, namun jauh jika disebut sebagai kota modern yang sesungguhnya.Â
Penghuninya selalu menempuh puluhan kilometer hanya untuk mencapai tempat kerja, yang diawali dengan saling berebut keluar di kala pagi buta dan berebut masuk komplek perumahan di saat malam telah mulai temaram.Â
Badan yang capek akan terasa lebih capek dengan penat dan gerahnya suasana rumah oleh suhu derajat celcius yang tak pernah turun meskipun datang musim penghujan.
Suhu derajat temperamen sang nyonya rumah, yang mendamprat habis sang suami yang baru pulang dari kerja.Â
Yang kenapa kerja pagi pulang malam hanya memberikan penghasilan yang terlalu kecil untuk sekedar dapat disombongkan kepada tetangga sebelah rumah, atau kepada saudara dan mertua perempuan.Â
Kampung di sebuah komplek perumahan, semakin tak bersahabat manakala kala mertua perempuan sang nyonya rumah yang datang dari desa untuk sekedar menengok cucu tersayang.Â
Dari harus tidur dimana, harga beras yang tak lagi jelas, harga kebutuhan pokok yang mahal dan tukang kredit yang datang setiap hari hanya untuk mengucapkan ‘selamat pagi’ sembari menagih janji setoran sang empunya rumah.Â
Semakin mencekik tenggorokan mertua perempuan, hanya untuk sekedar menikmati enaknya makan di kampung sebuah komplek perumahan.Â