Nasi Pecel Kembang Turi diatas Kereta Api Rajawali
Mengenang perjalanan empat belas tahun silam saat PT KAI masih dalam proses berbenah,Â
Siang itu di Stasiun Kereta Api Pasar Turi Surabaya ramai sekali. Jarum jam masih menunjuk di angka dua kurang seperempat. Calon penumpang yang mau bepergian dengan tujuan akhir kota Semarang sudah mulai berdatangan. Tempat duduk executive lounge  pun penuh sesak.
Tepat pukul dua siang, hampir semua penumpang telah menempati tempat duduk sesuai dengan nomor yang tertera di tiketnya masing -- masing. Kemudian, tak lama berselang kereta executive Rajawali jurusan Surabaya -- Semarang itupun mulai bergerak dan meninggalkan stasiun.
Kurang lebih dua jam berselang keretapun di rem dan kecepatannyapun mulai dikurangi karena hendak memasuki stasiun kecil di kota Bojonegoro.
Waktu pemberhentian tak lebih dari lima menit, serasa dikomando beberapa penumpang segera menuju pintu masing -- masing gerbong, bukan untuk turun namun untuk sekedar menikmati "nasi pecel"Â khas Bojonegoro yang dijajakan di area stasiun.
Tepat sekali, nasi pecel beralaskan daun pisang dengan beragam sayur plus sayur khusus yang bernama "kembang turi" yang disertai pilihan lauk telur dadar, sate telur, dadar jagung, rempeyek kacang ditaburi dengan sambel pecel yang khusus dijual di depan pintu gerbong kereta api yang sedang berhenti sejenak.
Dengan hanya merogoh kocek lima ribu rupiah, perut lapar pun terpuaskan sudah. Meski harga yang ditawarkan tergolong murah tidak berarti nasi pecel "kembang turi" murahan dan jauh dari kesan jorok.
Nasi putihnya di bungkus rapat dengan daun pisang, sementara sayur, lauk dan sambel pecelnya yang ditutupi plastik transparan hanya dibuka pada saat sang Ibu penjual melayani para pembeli.
Meminjam istilahnya Almarhum Pak Bondan Winarno "wis pokoke maknyus".