Mohon tunggu...
OMK St Ignatius Loyola
OMK St Ignatius Loyola Mohon Tunggu... -

Blog ini adalah (salah satu)sarana komunikasi dan sosialisasi juga refleksi dari (setiap)kegiatan dan aktifitas Orang Muda Katolik Paroki St Ignatius Loyola Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Liturgi Katholik: Selayang Pandang

26 September 2012   04:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:40 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Liturgi merupakan suatu unsur penting yang tak terpisahkan dari kehidupan iman orang Kristiani. Petunjuk dasar tentang hal itu kiranya tampak dari pernyataan Konsili Vatikan II dalam SC 2. Pentingnya liturgi menyingkapkan juga suatu tuntutan agar liturgi dipahami dengan baik dan benar. Secara etimologi, kata liturgi berasal dari kata leiturgia yang terdiri dari kata ergon yang berarti karya, dan leitos yang berarti bangsa. Jadi, Leiturgia berarti pelayanan atau karya yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa.[1]Dalam masyarakat kuno, kata leiturgia dimaksudkan untuk menunjuk kerja bhakti yang tidak dibayar, iuran atau sumbangan dari warga masyarakat yang kaya, dan pajak untuk masyarakat atau negara.[2]

Untuk memahami liturgi, kita tidak hanya dituntut untuk mengetahui arti liturgi, peralatan dan perlengkapannya dan upacara yang dilaksanakan dalam liturgi itu sendiri. Mengapa demikian? Karena untuk memahami Liturgi, diperlukan latar belakang pengetahuan Teologi Wahyu dan Iman, Kristologi, Pneumatologi, Teologi Penciptaan, Soteriologi, Eklesiologi, Eskatologi, Mariologi. Selain beberapa ilmu pengetahuan di atas, yang lebih penting lagi adalah liturgi harus berakar pada Kitab Suci dan Patristika. Maka itu, perlu mengusahakan berbagai upaya seperti kursus-kursus, pendirian pusat studi pastoral, perpustakaan dan bimbingan bagi pribadi-pribadi yang cakap yang dapat membentu para imam dalam mewartakan injil dan merasul. [3]

Liturgi bukan hanya mencakup urusan aturan, petugas dan tata perayaan liturgis saja, tetapi juga liturgi pertama-tama menunjuk pada perayaan misteri karya keselamatan Allah sendiri yang dilaksanakan oleh Kristus bersama Gereja-Nya dalam Roh Kudus.[4] Oleh karena dilihat sebagai karya keselamatan maka liturgi juga bukan hanya menjadi wahana pertemuan antara umat dan umat melainkan juga terjadi pertemuan antara umat beriman dan Allah sendiri yang berlangsung melalui Kristus dalam Roh Kudus.

Telah dikatakan bahwa liturgi bukan hanya menjadi sebuah tempat perjumpaaan antarumat beriman saja melainkan juga antara umat beriman dan Allah, karena di dalam liturgi karya keselamatan Allah terpenuhi. Oleh karena itu, untuk memahami karya keselamatan Allah dalam liturgi tersebut dibutuhkan latar belakang pengetahuan Teologi Wahyu dan Iman, Kristologi, Pneumatologi, Teologi Penciptaan, Soteriologi, Eklesiologi, Eskatologi dan bahkan Mariologi. Namun yang lebih penting lagi Liturgi harus berakar pada Kitab Suci dan Patristika.[5] Perbedaan Liturgi (ibadat Katolik) dengan agama lain bahwa Liturti bukanmenyembah dewa-dewi yang tidak kelihatan, tidak seperti anak kecil merengek-rengek minta cepat kaya, naik pangkat, dapat jodoh dan lain-lain. Juga umat Katolik tidak berteriak-teriak memanggil Allah nun jauh di sana.Tapi bagi umat Katolik, sakramen-sakremen dan secara khusus Ekaristi adalah puncak pewujudan realitas iman Katolik.[6]

Liturgi yang kita jalani sekarang ini, tidak terbentuk dengan sendirinya. Liturgi mengakar dalam tradisi. Upacara-upacara liturgi yang kita jalani sekarang berawal atau mengakar dari tradisi. Misalnya, dalam tradisi Yudaisme ada kebiasaan untuk membaca Alkitab di Bait Suci dan di Sinagoga, kebiasaan berdoa di Bait Allah.[7]Dengan mempelajari sejarah liturgi, kita dapat memahami perkembangan awal dari liturgy, khususnya ketika liturgy dirayakan oleh jemaat gereja perdana dan pada zaman bapa bapa gereja. Mereka adalah generasi pertama dan kedua setelah para rasul. Dari tulisan Bapa Gereja, kita mengenal tata perayaan liturgy umat Kristiani perdana. Selanjutnya, kita secara kreatif menata liturgy saat ini.[8]Salah satunya adalah dengan melakukan misa inkulturasi. Agar Injil diterima, maka gereja menggunakan unsure-unsur kebudayaan setempat dalam pewartaan. Usaha atau cara semacam ini yang kemudian dikenal dengan istilah inkulturasi. Dengan cara demikian orang merasa bahwa mereka masih mempertahankan warisan kebudayaan dan sekaligus dapat menerima ajaran Kristiani sebagai tanggapan atas tindakan penyelamatan Allah.

Beberapa misionaris mewartakan Injil di dunia Timur dengan berbagai penyesuaian dengan budaya setempat. Ketika Santo Fransiskus Xaverius tiba di Jepang, ia ingin bertemu dengan salah seorang Gubernur. Ia disarankan oleh seorang sahabatnya untuk mengganti jubah religious dengan baju tradisional Jepang, Dengan cara itu, ia diterima dan diizinkan oleh Gubernur untuk mewartakan Injil di Jepang. Inkulturasi tak lain adalah suatu transformasi nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui proses integrasi mereka kedalam Kekristenan dan meresapnya Kekristenan kedalam berbagai kebudayaan umat. Pada hakekatnya, inkulturasi membantu umat untuk menghayati misteri Yesus Kristus dan mengungkapkan dalam kehidupan sehari-hari. Gereja harus tekun dalam mendalami pokok pokok iman akan Yesus dan budaya setempat. Dengan demikian inkulturasi tidak membahayakan keutuhan iman tetapi sebagai cara untuk mengakarkan Injil dalam semua keanekaragaman budaya.

Tanggapan Kritis

Liturgi merupakan sebuah cara memuliakan Allah yang tidak kaku, bahkan perubahan yang terjadi dalam tata cara liturgi tidak pernah lepas dari usaha manusia dalam menjadikan liturgi sebagai bagian dari kehidupannya.

Kaitan antara liturgi dan inkulturasi, sesungguhnya, inkulturasi bukanlah sesuatu hal yang buruk karena melanggar aturan gereja, melainkan inkulturasi sebenarnya adalah cara membantu umat untuk menghayati misteri Yesus Kristus dan mengungkapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Gereja harus tekun dalam mendalami pokok-pokok iman akan Yesus Kristus dan budaya setempat. Dengan demikian inkulturasi tidak membahayakan keutuhan iman tetapi sebagai cara untuk mengakarkan Injil dalam semua keanekaragaman budaya.

Persoalan yang dihadapi berhadapan dengan realitas objektif adalah peran pastor di paroki-paroki yang memandang liturgi sebagai suatu aturan yang saklek dan tak bisa diubah. Ada pula pihak tertentu yang memandang liturgi gereja hanya sebagai suatu yang dapat diubah sedemikian rupa sehingga mereduksi kesakralan dari sebuah perayaan ekaristi. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa sesungguhnya pemahaman tentang liturgy haruslah diketahui secara mendalam terlebih para pastor yang bertugas di paroki agar lebih bijak dalam mengambil keputusan berkaitan dengan liturginya.

Daftar Pustaka

Chupungco, Anscar J., 1987, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, Jakarta: PenerbitKanisius.

Da Cunha, Bosco. 2003. Pastoral Liturgi (Bimbingan Bagi Pelaksana Liturg-edisi Revisi). Malang: DIOMA.

G. O’ Collins dan Edward G. Farrugia,1996, Kamus Teologi,Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Katekismus Gereja Katolik. 1998.

Konsili Vatikan II (terj. R. Hardawiryana) dalam: Presbyterorum Ordinis (PO), Dei Verbum (DV), Sacrosanctum Concilium (SC). 1993. Jakarta: Obor.

Martasudjita, E., 1999, Pengantar Liturgi: Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Yogyakarta:

Kanisius

Pareira, Berthold Anton. 1990. Peranan Kitab Suci Dalam Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.

Tarigan, Jacobus,2011, Memahami Liturgi, Jakarta: Penerbit Cahaya Pineleng.

Tarigan, Jacobus, 2011, Ritus Kehidupan, Jakarta: Penerbit Cahaya Pineleng.

[1] Jacobus Tarigan, 2011, Memahami Liturgi, Penerbit: Cahaya Pineleng-Jakarta, hal. 2.

[2] E. Martasudjita, 1999, Pengantar Liturgi, Kanisius-Yogyakarta, hal 18-19.

[3] Diolah dari Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis (PO) no.19.

[4] Lih. E. Martasudjita, ibid., hal. 27

[5] Jacobus Tarigan, Memahami Liturgi, (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011) hlm. 13

[6] J. Tarigan, Ritus Kehidupan (Jakarta: cahaya Pineleng, 2011), hlm. 266-267

[7] R. T. Beckwith, “The Jewish Background to Christian Worship”, in The Study of Liturgy, edited by Cheslyn Jonws, eds, New York: Oxford University, p. 68.

[8] Lih. Tarigan, ibid., hal. 21

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun