Mohon tunggu...
OMK St Ignatius Loyola
OMK St Ignatius Loyola Mohon Tunggu... -

Blog ini adalah (salah satu)sarana komunikasi dan sosialisasi juga refleksi dari (setiap)kegiatan dan aktifitas Orang Muda Katolik Paroki St Ignatius Loyola Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangkit Bersama Kristus: Refleksi (Kritis) atas Problem Kemanusiaan di Indonesia

26 September 2012   01:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:41 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Age quod agis merupakan sebuah slogan (dalam bahasa latin yang memiliki arti lakukanlah apa yang harus kamu lakukan) atau bisa dikatakan semacam "mantra" yang harus dijalankan oleh tiap individu guna mencapai kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Namun "mantra" tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan. Sebagai seorang manusia yang bereksistensi secara penuh, tentunya manusia memiliki kebebasan untuk melakukan banyak hal. Manusia itu bebas dalam menjalankan segala sesuatu, oleh karena itu segala tindakan manusia harus didasari oleh pertimbangan rasional juga intuitif agar apa yang ia lakukan tidak merugikan pihak lain tapi sebaliknya tindakan yang dilakukan malahan berdampak untuk kebahagiaan sebanyak mungkin orang. The greatest happiness for the greatest number![1] Namun bicara soal teori memang jauh lebih mudah daripada bertindak. Lihat saja realita yang berkembang di negara ini.

Akhir akhir ini, marak dijumpai persoalan tentang pluralisme di Indonesia, mulai dari perselisihan antar agama hingga perang suku. Bhineka Tunggal Ika yang digadang gadang menjadi kekuatan nasionalpun harus bungkam, ia telah menutup mulutnya. Ia tidak lagi mau bersaksi atupun menjelaskan apa maksud dari ke-Bhineka-an nya itu. Pancasila tinggal wacana kebangsaan yang abu abu, tak jelas juntrungannya, malahan ideologi semacam itu menjadi doktrin untuk semakin menyengsarakan rakyat. Pemerintah seakan tak lagi peduli dengan nasib bangsanya, hal itu dapat kita lihat dari minimnya usaha Pemerintah dalam mengatasi persoalan pluralisme di negri ini.

Siapa sangka di zaman yang serba mewah dan canggih ini, ternyata malah terjadi krisis moral yang berkepanjangan. Di sana sini, orang sibuk dengan blackberry, I-phone, I-pad, dan apple nya, namun orang orang malah semakin cuek dengan realita kehidupan, tak peduli lagi dengan apa yang telah terjadi, sungguh ironis! Peristiwa demi peristiwa yang mengenaskan pun telah mewarnai krisis moral bangsa ini, mulai dari pembantaian umat ahmadiyah, terror bom buku,"perampokan" uang nasabah Citybank, hingga pelecehan seksual di dalam angkutan umum menjadi bukti kemerosotan moral bangsa ini.

Iklim ketakutan dan horror juga tak henti- hentinya menghantui tubuh bangsa ini sejak lebih dari 30 tahun belakangan ini. Suasana ketakutan dan horror itu adalah sebagai akibat dari berbagai gelombang kerusuhan yang terjadi di Indonesia, yang dicurigai tidak terlepas dari peran para aktor intelektual dan provokator, yang menerapkan metode adu domba dan terror untuk menciptakan berbagai kekacauan di dalam masyarakat.

Apa yang tampaknya ingin dicapai oleh aktor intelektual di belakang terror tersebut adalah terbentuknya sebuah iklim kesadaran di kalangan masyarakat, bahwa mereka tengah diancam oleh kelompok masyarakat lainnya. Padahal kesadaran tersebut tak lebih dari kesadaran palsu, ancaman tersebut tak lain dari ancaman semu.[2]

Gelombang terror di Jakarta itu menunjukkan bahwa psikologi bangsa ini telah diacak- acak dan dipermainkan oleh sebuah mesin terror yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar, yang dengan leluasa menciptakan pertunjukkan demi pertunjukkan di atas tubuh bangsa ini untuk kepentingan politiknya, tanpa pernah tersentuh oleh kekuasaan Negara beserta aparat keamanannya hingga kini.

Jean Baudrillard, di dalam Fatal Strategis mengatakan bahwa terror menjadi bagian tak terpisahkan dari politik, ketika politik itu telah dikendalikan sepenuhnya oleh hawa nafsu. Mesin politik semacam itu menjelma menjadi sebuah mesin a-sosial: sebuah mesin politik yang tak perduli dengan masyarakatnya, yang bahkan menjadikan mereka sebagai tumbal politik mereka.

Teroris sejati adalah teroris yang menyebar kekerasan, sambil menyatakan bahwa dirinya yang bertanggung jawab. Sementara teroris virtual adalah teroris yang melakukan peledakan bom, namun meletakkan sidik jari di tangan orang lain. Ia selalu berlindung di balik topeng- topeng , dibalik kambing hitam. Ia hanya memroduksi terror- teror palsu (simulacrum of terror).[3]

Simulacrum of terror, sebagaimana dikatakan Baudrillard adalah sebuah permainan politik. hanyalah sebuah cara mempermainkan realitas psikologi masa, citra, dan public opinion untuk kepentingan politik. Diciptakan event terror yang nyata. Diciptakan pula kausalitas terror yang tampak nyata; ada markas, ada gerakan fundamentalis, dan ada padepokan latihan terror. Selanjutnya diciptakan citra realitas terror. Citra tersebut sepintas tampak merefleksikan yang sesungguhnya, padahal semuanya tak lebih dari rangkaian kesemuan. Inilah topeng- topeng teror; terror yang menyembunyikan kejadian sesungguhnya, terror yang mendistorsi realitas, memalsukan kebenaran, atau lebih dikenal dengan nama HYPERREALITY OF TERROR!

Sebagai umat Kristiani seharusnya kita mampu bersikap kritis menanggapi persoalan kebangsaan ini. Dengan meneladani semangat Kristus yang disalib bagi kita, seharusnya kita tidak mudah terprovokasi oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab, kita juga jangan hanya berpangku tangan seperti orang orang senayan yang seakan tak peduli dan tak mau tahu dengan nasib negrinya sendiri. Ingatlah...Indonesia ini milik kita, milik kita bersama dan harus selalu kita jaga dan kita kondisikan agar semakin hari semakin dapat membawa kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. The greatest happiness for the greatest number, itulah semangat yang harus kita pegang dan kita terapkan dalam hidup kita, apa yang kita lakukan haruslah berdampak baik bagi sebanyak mungkin orang, bukan untuk pihak tertentu saja. Apalagi berkenaan dengan tema (ekaristi) tahun ini yang masih kental dalam ingatan kita yang memiliki slogan [...] mari berbagi. Oleh karena itu mari kita saling berbagi. Sharing is fun! Saat orang lain kesusahan dan menderita, sudah seharusnya kita menolongnya, bukankah Yesus hadir bahkan dalam diri orang yang paling hina sekalipun??

Saat kita sudah bisa berbagi dengan orang lain, artinya kita juga bisa menghargai kehadiran orang lain juga. Dengan demikian hubungan kita dengan orang lain akan menjadi hubungan yang baik pula, tidak ada curiga apalagi dendam. Saat seperti itu menandakan kita tidak lagi mengobjekkan yang lain, karena kita bisa memaknai kehadiran orang lain sebagai satu entitas yang utuh, yang sama dengan kita, tanpa ada perbedaan yang secara substansial beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun