---SHARE---
MESKI kelahiran R.A. Kartini sudah lebih dari satu abad, tetapi pejuang wanita tersebut masih menyimpan magnit yang luar biasa. Setiap tanggal 21 April, sosoknya selalu dikenang dengan festival perayaan sangat meriah, mulai dari tingkat kanak-kanak hingga orang dewasa.
Kartini adalah idola kaum perempuan tempo dulu, kini hingga yang akan datang. Dia bagaikan singa wanita padang pasir yang garang dan disegani, baik sesama kawan maupun para lawan. Ketokohannya sangat diakui, lantaran ide-idenya yang cukup brilian, inspiratif dan menggugah banyak orang.
Itulah sebuah alasan mengapa generasi masa kini masih hasrat memeringatinya. Namun, apakah perayaan yang digelar oleh masyarakat itu mampu memberikan spirit terhadap kaum perempuan? Bisahkah ruh (jiwa) Kartini itu dijadikan moment kebangkitan dan pemberdayaan kodrat perempuan saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu direnungkan ulang sebagai bagian dari ”tapak tilas” di hari Kartini tahun ini. Bila kita telusuri dibalik perayaan itu, mulai dari kampung–kampung hingga di tengah perkotaan, tanpaknya masih menyisakan sesuatu yang ganjil (kurang pas), yakni hilangnya spirit. Suka cita perayaan Kartini hanyalah ditonjolkan melalui peragaan busana, seperti peragaan baju kebaya, konde, dan juga ada yang menjadikannya sebagai tuntutan atas kesetaraan gender. Padahal, keterpurukan yang dialami kaum Hawa sejak yang dialami Kartini sampai saat ini, masih menjadi musuh utama.
Bukankah dewasa ini, perempuan belum sepenuhnya mampu bangkit, berdaya sesuai misi dan cita-cita Kartini. Atas nama agama, ekonomi, politik, sosial, gender, fisiologis, pendidikan dan sebagainya, perempuan jadi alamat korban penyimpangan sistem terstruktur. Jika moment perayaan semacam ini direfleksikan kembali dengan menggali spirit Kartini yang benar, maka mungkin tidak akan ada lagi wanita yang jadi pelacur, masih bodoh, terbelakang (selalu diatur kaum laki-laki), wanita dianggap sebagai manusia kelas dua dan seterusnya. Namun anehnya, perempuan di zaman modern ini justru menjadi korban kapitalistik. Dengan dalih ekonomi, mereka rela menjual harga diri, mengais materi ke negeri orang lain tanpa bekal kemampuan cukup sehingga jadi sasaran korban kekerasan para majikan, serta mudahnya wanita sebagai alat komersialisasi merek bintang iklan dan masih banyak lagi contoh lainnya. Semua kenyataan itu, kata Kartini, merupakan bentuk dehumanisasi atau menyalahi kodrat kewanitaan yang semestinya. Menurut Kartini, cara untuk keluar dari keterpurukan tersebut, atau hitung-hitung untuk bisa bersaing dengan kaum laki-laki, bukan harus menjadi seperti itu. Melainkan harus berpendidikan luas, punya tanggungjawab diri sebagai wanita, dapat mengurus urusan rumahtangga dengan baik, mampu bersaing dan berjuang di pentas publik dan sebagainya.
Jadi, dalam konteks kekinian harusnya yang perlu diteladani oleh generasi sekarang ialah semangat (spirit) pencerahannya yang substansial dan bukan pada aspek labelitas fisik yang berupa seremonial/ritual. Contoh-contoh brilian yang diusung Kartini ketika itu, khususnya bagi wanita, adalah mereka memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktifitas ke luar rumah, hak untuk memilih calon suami sesuai pilihannya. Namun di lain pihak, dia juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat, walaupun dia juga mengakui bahwa kita harus perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Atas dasar itulah kalau kita analisis, kekritisan Kartini ditujukan pada dua dimensi, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal diarahkan untuk menyerang tatanan tradisi dan budaya dalam negeri yang kurang mendukung emansipasi, khususnya masyarakat yang feodal dan pratriarkhi.
Sementara dimensi eksternal dialamatkan pada Pemerintahan Hindia Belanda yang dipandang memekerjakan orang secara tidak manusiawi serta memarginalkan pendidikan bagi kaum putri Indonesia. Selain yang bisa kita petik dari pesan moral di atas, masih ada satu hal lagi yang terlewatkan dari moment perayaan hari Kartini, yaitu pencerahan tentang agama. Agama (Islam), bagi Kartini, merupakan spirit hidupnya. ”Kalau kita mau hidup dengan penuh rahmat dan keberkahan, maka kita harus memeluk agama secara sadar,” begitulah anggap Kartini. Bagaimana dengan wanita-wanita sekarang? Justru dengan dalih gender, emansipasi, dan liberasi, banyak wanita yang meninggalkan bahkan melecehkan nilai-nilai agama itu. Keretakan rumah tangga, pemerkosaan, tindakan asusila, korban penjualan wanita merupakan gambaran betapa agama itu sangat penting sebagai landasan dan pandangan hidup (way of ilfe) seseorang. Semangat Kartini pada zamannya selalu mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan agama. Selain Isu-isu perbedaan kelas/status sosial, dia juga memelopori hak asasi manusia, menuntut hak pendidikan, hak beraktifitas sosial dan kritis terhadap pemerintah kolonial, Kartini merupakan perempuan yang memeluk dan menjadikan agama sebagai fondasi yang kuat dalam hidupnya.
Sebagai catatan akhir, penulis perlu sodorkan sebuah arti kehidupan yang sebenarnya, seperti yang diangankan Ibu Kartini, bahwa dalam kitab suci yang dia diyakini senantiasa mengingatkan: ”yang membedakan laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan adalah kadar ketakwaannya." Terasa enteng jawaban ini, tetapi membawa makna yang luas. Berarti perempuan kini harus lebih cerdas dan berpengetahuan, lebih berbudi pekerti luhur, beramal shaleh (baik) sesuai bidang kemampuannya, dan menghormati kodrat diri sendiri. Dengan begitulah secercah harapan Kartini tempo dulu dapat diwujudkan dan semoga bisa mengangkat jiwa dan martabat bagi kaum perempuan masa depan.
Penulis: Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H