Mohon tunggu...
Deki Setiawan
Deki Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Paruh waktu

Menunggu hujan reda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Marak Pedagang Kecil, Membanggakan atau Justru Sebaliknya?

8 September 2016   16:02 Diperbarui: 8 September 2016   21:45 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi Jalan Senen Raya (Dok.Kompas)

Jika kita lihat di sekeliling kita, entah di sekitar tempat tinggal kita, kerabat atau bahkan sanak saudara, banyak pedagang kecil berhamburan. Bagi mereka yang bermungkim di kawasan elite, mungkin jarang dijumpai, namun bagi yang tinggal di daerah pinggiran kota hal tersebut sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Pagi, siang, sore, bahkan tengah malampun masih saja ada yang berjualan.

Ada yang berjualan sayur-mayur, pecel lele, kedai kopi, bengkel dsb.. Jika kita bandingkan dengan tahun-tahun lalu, jumlah “pebisnis kelas bawah” ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan sekarang-sekarang ini, mungkin bisa jadi tiap tahun jumlahnya kian bertambah. Ada yang mengkhususkan datang ke Ibu Kota atau kota-kota besar untuk berjualan, dikarenakan memang bukan dari lulusan perguruan tinggi, ada juga yang hanya sekedar menambah penghasilan. “Ngandalin gaji mah ga cukup,” katanya.

Ada yang menyikapi hal ini dengan rasa bangga. “Wah, hebat ya orang zaman sekarang, pada mandiri,” gitu katanya. Dan mungkin yang lebih membanggakan lagi adalah pedagang dengan usia yang bisa dibilang sangat muda, 15-19 tahun. Dulu hanya orang-orang dewasa yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk berjualan. Kalau anak mudanya lebih banyak malu atau gengsi untuk berjualan, apalagi berjualan kecil-kecilan. Anak-anak dengan usia muda, sekarang ini banyak yang lebih memikirkan bagaimana menghasilkan uang ketimbang memikirkan pelajaran. Ada yang berjualan dikarenakan memang tidak memiliki uang untuk melanjuti pendidikan, ada juga yang ingin mandiri tanpa harus mengandalkan uang dari orang tua.

Dan ternyata banyak pula pedagang kecil ini datang dari lulusan perguruan tinggi. Ada yang merasa sulit dapat pekerjaan dan akhirnya memutuskan untuk berjualan, ada juga yang merasa kerja di kantor gaji dengan pekerjaan tidak sesuai dan merasa jenuh yang akhirnya memutus untuk berdagang walau kecil-kecilan. Fenomena ini yang akhirnya membuka persepsi seseorang untuk lebih memilih berdagang ketimbang melanjutkan pendidikan.

Ada yang bilang, “Ngapain kuliah, liat tuh dia aja udah kuliah cape-cape pas lulus ga kerja-kerja,” dan yang lebih parahnya lagi, ada yang berpikir untuk tidak menyelesaikan Sekolah Menengah Atas untuk segera membuka peluang mendapatkan uang sedini mungkin. “Udah keluar aja, ntar uangnya buat usaha,” gitu katanya. Ada hal yang semakin meyakinkan mereka untuk tidak melanjutkan Sekolah Menengah Atas, ini lantaran banyaknya pedagang sukses dengan hanya mengantongi ijazah SMP, bahkan hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar.

Kisah sukses ini justru mendorong para penerus bangsa untuk lebih memilih mendapatkan uang ketimbang melanjutkan pendidikan. Kenapa mereka lebih memilih berdagang dibandingkan untuk melanjutkan pendidikan, cari aman? Bisa jadi. Khusus untuk kalian yang memiliki pemikiran di atas, coba mulai dari sekarang menganggap mereka-mereka yang kuliah namun gagal dalam meraih mimpi mereka, seperti halnya para pahlawan kita yang gugur dalam berperang.

Jangan lihat hasilnya, namun lihatlah usaha dan perjuangannya. Kita ambil contoh misal sarjana lulusan perfilman, walau mereka tidak berhasil menjadi seorang sutradara, setidaknya mereka dapat berkerja di PH (Production House). Jadi penulis naskah misal, atau bekerja di televisi, jadi asisten produser mungkin, kreatif atau bahkan jadi asisten produksi. Lumayan, daripada harus menyapu di pinggir jalan.

Dan jangan pernah membanding-bandingkan, apalagi membanding-bandingkan nasib kalian dengan orang lain. Ingat, kita berbeda. Nasib dan rezeki pun berbeda-beda. Ok kalau mereka bisa sukses walau hanya memiliki ijazah SD, kalian? Belum tentu. Kalau kuliah film belum tentu bisa jadi sutradara, setidaknya mereka tetap dapat bekerja dengan penghasilan yang lumayan. Kalau cuma lulusan SMP, gagal bisnis cari alternatif untuk cari pekerjaan dapat kerja apa, jaga warnet?

Ya, setidaknya ada uang untuk jajan, beli permen mungkin. Kalau sudah berumah tangga, masa anak kita mau dikasih permen terus. Jangan salahkan dan bandingkan mereka-mereka yang tidak dapat melanjutkan pendidikan dikarenakan perekonomian yang tidak mendukung. Bagi yang masih mampu untuk melanjutkan pendidikan, mari kita membangun generasi bangsa yang cerdas, dan sama-sama kita memajukan bangsa, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun