Belakangan isu #LGBT mencuat kembali. Bagi jurnalis, isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender ini tentu punya news value. Tak cuma media cetak dan online, tetapi media elektronik, khususnya televisi. Namun, agar isu #LGBT tidak berubah menjadi ajang promosi di televisi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat coba membentengi. Pada Kamis minggu lalu, KPI Pusat memanggil perwakilan stasiun televisi untuk melakukan diskusi terbatas membahas mengenai #LGBT ini.
Hasil dari diskusi terbatas tersebut menyimpulkan, bahwa KPI Pusat MELARANG TAYANGAN YANG MENGKAMPANYEKAN #LGBT. Sengaja saya tulis dengan huruf besar semua agar kita semua bisa mengontrol semua televisi akan komitmen mereka untuk tidak mengkampanyekan prilaku #LGBT. Jika ada dari salah satu televisi yang coba-coba kampanyekan prilaku menyimpang ini, Anda -para pembaca- bisa langsung mengadu ke KPI.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am, dan juga Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati: Elly Risman ini, sepakat menyimpulkan, #LGBT adalah penyimpangan orientasi seksual. Oleh karena menyimpang, maka stasiun televisi perlu melindungan anak dan remaja yang rentan menduplikasi prilaku menyimpang tersebut. Apalagi dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012 tertulis, stasiun televisi dilarang memuat tayangan yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas dan/ atau membenarkan perilaku tersebut.
Lalu seperti apa bentuk kampanye atau promosi yang dimaksud?
Jika #LGBT menjadi content berita tidak termasuk bagian dari kampanye atau promosi. Namun jika para pelaku #LGBT sudah "diberi panggung", itu menjadi persoalan dan dianggap menjustifikasi prilaku penyimpangan disorientasi seksual. Yang dimaksud "diberi panggung" adalah pelaku #LGBT diwawancarai dimana isi wawancara tersebut pelaku tidak merasa dirinya ada kelainan. Bentuk wawancara bisa vox pop, bisa pula talk show dengan dihadiri narasumber yang kontra terdapat prilaku #LGBT.
Sebetulnya dengan menghadirkan narasumber normal (baca: bukan pelaku #LGBT) yang pro terhadap #LGBT juga termasuk mengkampanyekan atau mempromosikan. Betapa tidak, mereka (narasumber pro, biasanya dari kelompok liberal) akan mengatakan, bahwa #LGBT bukan sebuah masalah besar atau para pelakunya tidak perlu disembuhkan. Jika televisi masih memunculkan mereka yang pro terhadap #LGBT, jelas hal tersebut sama saja memberikan ruang promosi.
Selain narasumber, televisi juga punya kewajiban untuk selektif dalam memilih Host acara maupun tema-tema sinetron yang ditayangkan. Sebagaimana kita ketahui, saat ini ada beberapa Host yang memiliki penyimpangan disorientasi seksual. Saya tidak perlu menyebutkan nama-nama Host, karena Anda pasti sudah bisa menebak sendiri. Bahkan dahulu, di salah satu stasiun televisi, seorang Transgender pernah dijadikan Host sebuah acara.
Transgender ini pun kerap muncul di acara-acara infotainment. Padahal Produser atau Pekerja Infotainment tahu, bahwa dulu "dia" adalah berjenis kelamin pria. Kemudian "dia" melakukan operasi dan melebelkan dirinya sebagai "sosok perempuan", padahal "dia" adalah pelaku Transgender.Â
Promosi yang juga paling sering Anda lihat di televisi adalah saat acara komedi. Salah seorang pemain komedia pria berpakaian perempuan. Tanpa banyak penonton sadari, peran-peran banci tersebut menjadi hal lumrah. Padahal, hal tersebut termasuk mempromosikan #LGBT agar menjustifikasi prilaku menyimpang tersebut. Oleh karena dianggap biasa, muncullah komentar-komentar permisif seperti ini:
"Ah, itu kan cuma acara komedi. Cuma lucu-lucuan aja. No problem lah..."
"Nggak mungkin si A (nama pemain yang berubah jadi banci) aslinya kayak gitu..."