Olga Syahputra adalah fenomena. Saya harus katakan demikian, karena memang itu faktanya. Terlepas dari pembawaan yang “kemayu”, ia berhasil memikat sejumlah pengelola televisi, sehingga mereka tetap memunculkannya di sejumlah acara televisi, mulai dari Dahsyat (RCTI), Pesbukers (ANTV), sampai program yang belakangan diprotes banyak penonton televisi, yakni Yuk Keep Smile (Trans TV).
Saat ini Olga terbaring sakit. Pria kelahiran Jakarta, 8 Februari 1983 ini dikabarkan sakit akibat kelenjar leher bengkak. Bersamaan dengan berita sakitnya Olga, dokter Febby Karina bersyukur, berkas kasus pencemaran nama baik yang dilakukan Olga akan segera dikirim ke Kejaksaan oleh pengacaranya Malik Bawazier. Sebagaimana Anda ketahui, Olga telah ditetapkan jadi tersangka setelah penyidik memeriksa saksi-saksi, terkait ucapan Olga kepada dokter Febby di acara Pesbukers episode Mei 2013. Mungkinkah Olga masuk penjara?
Sekali lagi, Olga adalah fenomena. Silahkan Anda setuju dengan istilah 'fenomena' di sini. Namun, yang pasti, bBanyak orang yang berusaha melindungi dirinya, termasuk petinggi di beberapa stasiun televisi. Mereka tidak mau kehilangan Olga. Dengan berbagai cara, para petinggi ini menawarkan layanan first class. Itulah salah satu fakta yang saya himpun dari berbagai teman. Nah, fakta-fakta lain, silahkan Anda baca berikut ini:
1.Rating Maker
Percaya tak percaya, Olga adalah rating maker. Meski saya belum pernah menguji kebenaran ini, karena belum pernah memakai Olga sebagai talent, tetapi hampir semua teman saya di beberapa stasiun mengatakan: Olga pendongkrak rating sebuah acara. Apapun acaranya, begitu ada Olga, langsung naik ratingnya.
Boleh jadi, kondisi mayoritas penonton yang masih berada di level C-D, membuat guyonan seperti Olga diterima. Artinya, Olga menjadi refleksi mayoritas masyarakat Indonesia kini, yang lebih suka melecehkan, kasar, tidak punya sopan santun, dan berpikir pragmatis. Ingat! Tidak semua, tetapi mayoritas.
Penonton A-B memang ada, tetapi jangan membayangkan kelas A-B dalam dunia televisi adalah golongan kaya atau the have, kerap menggunakan jejaring sosial, terutama twitter. AC Nielsen tidak mencatat penonton pemilik rumah-rumah gedong, mobil mewah di perumahan elit semacam Pondok Indah. Memang acara-acara model komedi situasi yang kasar atau joget massal ditonton di perumahan elit, tetapi penontonnya bukan pengusaha atau konglomerat, melainkan para pembantu yang setia menunggu majikannya pulang kantor.
Awalnya salah seorang teman saya tidak percaya ketika atasannya memintanya untuk memasukan nama Olga dalam deretan talent acara yang akan disiarkan. Begitu tahu, rating acaranya naik gara-gara ada Olga, teman saya baru mengakui kebenarannya. Setidaknya terlihat dari tracking minute by minute (pemantauan segmen yang dibedah per menit) yang selalu ada setiap pengelola televisi mendapatkan sebuah rating acara.
2.Diperebutkan Pemilik Televisi
Gara-gara dianggap rating maker atau penghasil rating, Olga pun diperebutkan oleh pemilik stasiun televisi. Olga dianggap sebagai aset yang tidak boleh lepas dari genggaman siapa pun. Tak heran, sejumlah pemilik stasiun televisi memanjakan Olga.
Ada sebuah cerita seru yang saya dapatkan dari teman saya tentang bagaimana sejumlah pemililk stasiun televisi benar-benar takluk dengan the power of Olga. Mereka seperti tidak punya harga diri, karena takut Olga pergi, tidak mau mengisi acara di stasiun televisi punya si pemilik stasiun televisi itu.
Ketika Olga masuk rumah sakit, pemilik stasiun televisi silih berganti menjenguk. Bagus memang, tetapi masalahnya belum pernah ada talent yang dijengguk langsung oleh pemilik stasiun televisi. Kalau pun ada, bisa dihitung pakai jari. Padahal, banyak talent di Indonesia ini yang pernah sakit, bahkan ada yang parah dan meninggal. Tetapi Olga berbeda.
Para pemilik stasiun televisi ini membawa aneka makanan mahal dan enak, termasuk mengirimkan bunga. Salah satu pemilik bahkan bersedia membayarkan seluruh biaya pengobatan, rumah sakit, sampai Olga bener-benar sembuh. Pemilik stasiun televisi lain tak mau kalah, bukan cuma membayarkan seluruh biaya rumah sakit, tetapi dokter yang memeriksa Olga dipilih dari dokter kepresidenan alias salah satu dokter Istana.
Ada cerita lain, seorang petinggi stasiun televisi gusar, karena semua talent acara sahur “dibajak” oleh stasiun televisi lain untuk menjadi pengisi acara tetap di acara baru. Petinggi ini langsung mengundang semua talent acara tersebut, khususnya Olga, di sebuah acara makan. Dalam acara makan-makan tersebut, si petinggi berani membayar tiga kali lipat honor yang mereka terima di televisi kompetitor itu. Bahkan, Olga diberi harga khusus yang bikin geleng-geleng kepala.
3.Honor per Segmen
Banyak teman saya bertanya, berapa sebenarnya honor Olga. Terus terang, tak ada “angka pasti” untuk honor Olga, tetapi sangat mahal dan saya anggap tidak wajar. Saya katakan tidak wajar, karena parameter tinggi-rendah harga seorang host atau talent adalah jam terbang dan kualitas. Baiklah kalo jam terbang Olga sudah ribuan kali nge-host, bagaimana dengan kualitas?
Tentu kebanyakan dari Anda tahu, Olga kerap mendapat kritikan dari para penonton maupun teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena ucapannya sangat kasar, kerap melecehkan, dan tidak memiliki sopan santun. Meski kerap mendapat kritikan, bahkan dihujat, pengelola stasiun televisi tutup kuping. Mereka tidak ingin aset berharga, yang bisa menjadi pendongkak rating-share dan sumber uang, di-PHK dari acara. Stasiun-stasiun televisi cukup minta maaf dan persoalan dianggap selesai. Mudah kan?
Aset harus dijaga, terlebih lagi pemilik stasiun televisi sudah berinvestasi besar-besarnya untuk menjaga aset ini. Puluhan juta dikeluarkan demi Olga. Ibaratnya, Olga bagai Raja yang berjalan di atas karpet merah. Ada singgasana dan sejumlah orang yang siap membuatnya nyaman duduk di situ. Hebatnya lagi, sudah diperlakukan bak Raja, honornya pun “selangit”!
Tahukah Anda honor Olga di Yuk Keep Smile (YKS) per episode? Di atas seratus juta perak! Angka ini jelas fantastis dibanding honor Nikita Willy yang menjadi bintang sinetron bertarif mahal. Jelas, kerja sebagai bintang sinetron jauh lebih keras, ketimbang menjadi talent di YKS. Untuk mendapatkan honor 50 juta perak per episode di sinetron, Nikita Willy harus shooting beberapa hari, sementara YKS cukup live selama 4 jam.
Meski mendapatkan honor “selangit”, Olga masih bebas berkeliaran di stasiun televisi lain. Maklumlah, Olga tidak bisa dikontrak eksklusif di satu stasiun televisi. Komitmen Olga di stasiun televisi adalah, asal jam tayang tidak head to head (baca: bentrok di jam yang sama muncul acara yang memakai Olga), Olga bebas mengambil rezeki di televisi lain. Tak heran pagi Olga ada di Dahsyat, sore di Pesbukers, dan malam muncul di YKS. Cukup tiga acara rutin, tetapi ia jadi milioner.
Edannya, ada satu acara, dimana Olga dibayar per segmen. Artinya, ia tidak muncul di tiap segmen, tetapi hanya satu atau dua segmen saja. Anda tahu berapa Olga dibayar per segmen? Tigapuluh lima juta perak! Ariel dengan Noah dibayar Rp 70 juta di HUT Trans TV ke-12. Mantan pacar Luna Maya ini sampai berkeringat-keringat menyanyikan empat lagi dan harus membagi 70 juta perak dengan rekan-rekan band dan manajemennya, sementara Olga cukup main 2 segmen saja.
4.Last Minute Briefing
Jadwal Olga yang padat membuat dirinya seringkali datang last minute. Semua Produser di stasiun televisi nasional yang pernah memakai Olga sebagai talent tahu, jangan harap punya waktu duduk satu jam dengan Olga, sebelum live atau taping untuk briefing all crew.
Sekadar info, dalam sebuah produksi, sebelum live atau taping, Produser akan mengumpulkan all crew dan talent untuk melakukan briefing. Tujuan briefing adalah untuk memaparkan kembali rundown yang sudah dibuat oleh tim kreatif. Produser akan membacakan urutan rundown dari segmen 1 sampai segmen akhir. Dengan begitu, talent mengerti kapan in-frame (masuk ke set), kapan out frame (keluar dari set). In frame dari set sebelah kanan atau kiri, maupun sebaliknya out frame-nya dari set sebelah mana.
Dalam briefing, semua saling berkerkoordinasi. Tak cuma kreatif yang dibahas, teknis pun dibahas tuntas dan detail oleh Program Director (PD). Bayangkan kalo Cameraman tidak tahu di segmen mana talent masuk (in frame) ke set, lalu di set sebelah mana talent out frame, maka PD sulit untuk mendapatkan gambar tersebut. Nah, jangan harap, Olga ikut serta dalam suasana brifing seperti ini. Barangkali dahulu kala, ia pernah melakukan kebiasaan sebelum live atau taping seperti ini, tetapi sekarang sudah jarang, bahkan tidak sama sekali.
Menurut teman-teman saya, briefing ke Olga selalu last minute. Barangkali karena Olga kerap tampil spontan, Produser via tim kreatif cukup memberitahu Olga berperan sebagai apa dan masuk di segmen berapa. Sisanya, Olga akan melakukan spontanitas sendiri. Kebiasaan spontan itulah yang membuat ucapan-ucapan Olga sulit dikendalikan dan kerap mendapatkan teguran KPI.
Nah, melihat sekelumit fakta tentang Olga Syahputra di atas, sebagian besar Anda setuju, bahwa Olga benar-benar sebuah fenomena dalam televisi. Apakah fenomena yang saya maksud ini Anda masukan ke dalam kategori 'fenomena positif' atau 'fenomena negatif'.
Berkat Olga, sejumlah pemilik stasiun televisi bisa tunduk pada pria “kemayu” ini dan berinvestasi ratusan juta untuk menjadikan Olga sebagai aset berharga. Jadi, selama AC Nielsen memberikan rating-share besar di acara-acara yang ada Olga, jangan harap teguran-teguran KPI bisa membuat kapok para pemilik stasiun televisi untuk menjadikan Olga talent di acara mereka. Pertanyaannya sekarang, kapan fenomena ini akan berakhir?
Salam TV Sehat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H