(3) "Pers nasional melaksanakan perannya melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum" (Pasal 6 Butir d UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers);Â
(4) "Pers nasional melaksanakan peranannya memperjuangkan keadilan dan kebenaran" (Pasal 6 Butir e UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).
Banyak orang menilai, surat edarat tersebut terlambat. Sebab, Dwi Fungsi Jurnalis sudah berlangsung lama, jauh sebelum Pilkada 2018 atau Pilpres 2019. Jadi seharusnya Surat Edaran seperti itu, sudah dibuat dan diedarkan ke seluruh pemilik media pada 2014 lalu atau Pilpres lalu. Namun, meski telat, tentu apa yang dilakukan Dewan Pers ini, petut diapresiasi.Â
Saat ini, Indonesia memang sudah darurat Jurnalis. Bukan darurat karena kekurangan Jurnalis, melainkan darurat menemukan Jurnalis-Jurnalis yang mengikuti Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik "Selalu bersikap independen dengan memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani dan menghasilkan berita yang akurat, dipercaya, dan objektif".Â
Darurat Jurnalis yang patuh pada Deklarasi Hari Pers Nasional (HPN) 2014 di Bengkulu, yakni pers Indonesia harus bisa menjadi wasit dan pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksanaan Pemilu 2019, bukan sebagai 'pemain'. 'Pemain' yang dimaksud di sini melakukan Dwi Fungsi sebagai buzzer cukong atau "Tukang Framming".
"Framing berita berlipat jauh lebih berbahaya ketimbang laras senapan," tulis mas Tedjo dalam akun twitternya.
Pengunduran diri yang ditegaskan oleh Ketua Dewan Pers sepertinya tak berlebihan. Betapa tidak, non-aktif tak menjamin seorang Jurnalis benar-benar berhenti dari kegiatan meliput dan mengabarkan. Yang tahu hanya Pemilik, Pemred, HRD, dan Tuhan. Sementara si Jurnalis masih terikat dengan media tersebut. Tetap jadi karyawan dan digaji bulanan. Enaknya lagi, selama kampanye dimodali pemilik media. Begitu tak terpilih jadi anggota DPR atau DPRD, si Jurnalis kembali ke bekerja seperti biasa.Â
Namun, jika menggundurkan diri, Jurnalis jelas tak punya kepentingan pada media mana pun. Tak perlu takut lagi dengan perintah Pemred harus pilah-pilih narasumber untuk diminta statement. Tak ragu-ragu membuat paket berita, yang mengkritisi Kubu A maupun Kubu B. Tak kawatir tidak digaji jika membuat berita mengenai fakta positif apa yang dilakukan oleh Kubu A atau Kubu B. Â
Mengenai Jurnalis harus mengundurkan diri jika jadi Timses tersebut, juga sempat diungkapkan mas Tedjo. Di akun twitternya, pria yang juga dikenal sebagai Pendalang ini menulis, "Seluruh wartawan atau wartawati juga harus mundur jika jadi timses". Â
Nah, sekarang, tinggal kontrol dari Dewan Pers pada seluruh media, baik media cetak, online, maupun elektronik, untuk taat pada Surat Edaran tersebut. Jika tidak taat dan dalam prakteknya ditemukan pelanggaran, apa sanksi bagi media maupun bagi si Jurnalis.Â