Lawan politik Anies-Sandi rupanya belum juga legowoatas kekalahan di Pilkada. Kemenangan pasangan Anies-Sandi sebesar 57,96% tanpa kecurangan itu, masih menyimpan sakit hati berkepanjangan. Sebetulnya, ketidaklegowoan ini bisa tercermin dari sikap Djarot dalam serah terima jabatan ke Gubernur terpilih periode 2017-2022. Dengan alasan tak diundang, Djarot lebih memilih tidak hadir.
Sebagai sosok yang kerap menyuarakan persatuan, kedamaian, toleransi, NKRI, atau ke-bhinekaan, ketidakhadiran Djarot justru membuka sikap permusuhan, tak ksatria menerima kekalahan. Setidaknya begitulah sejumlah komentar netizen. Namun, sikap Djarot tersebut tak banyak dijadikan isu oleh mayoritas media. Sejumlah media  --khususnya media pro Ahok-Djarot-- justru menunggu "kesalahan" Gubernur Anies. "Kesalahan" itu kemudian digoreng dan menjadi isu. Kata "pribumi" pun dijadikan agenda dalam pemberitaan.
Penulis coba menganalisis, kenapa media melakukan itu. Analisis yang penulis coba paparkan, berdasarkan apa yang pernah terjadi. Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, sangat wajar jika media pro Ahok-Djarot mengusik Anies. Meski jagoannya sudah kalah telak, tugas media partisan ini tentu masih punya agenda. Jika masa Pilkada agendanya mempromosikan sang jagoan di media mereka, maka setelah kalah, tugas selanjutnya menggali kesalahan. Prinsip bad news is a good news digunakan oleh media partisan ini.
Alasan kedua, bisa jadi media tak punya agenda "mencari-cari kesalahan". Tetapi, apa yang dipublikasikan di media atau ditayangkan di televisi, cuma sekadar gimmick. Dalam bahasa Inggris, gimmick adalah alat atau tipu muslihat atau tipuan. Dalam dunia marketing, gimmick adalah salah satu strategi pemasaran suatu produk, dengan menggunakan cara-cara yang tak biasa, agar cepat terkenal. Sementara di dunia televisi, gimmick merupakan cara untuk menarik perhatian penonton dengan beragam cara, entah itu dengan membuat adegan khusus, dandanan yang khas, musik, atau aktivitas lain.
Barangkali Anda masih ingat pada awal 2014, program Hitam Putih yang diisukan tidak tayang lagi? Saat itu, lewat akun FB, sang pemandu acara, Deddy Corbuzier mengumumkan, Hitam Putih di Trans 7 resmi berakhir. Ketika berita berakhirnya Hitam Putih muncul, seketika itu pula netizen memberi komentar. Sebagian besar menyayangkan acara yang selalu menampilkan narasumber yang sedang trending atau aktual ini, harus berakhir. Nyatanya, hal tersebut cuma sebuah gimmick. Baik Deddy maupun tim Hitam Putih seperti sedang "tes ombak". Melihat seberapa tinggi respon netizendan loyalitas penonton Hitam Putih.
Tentu, Hitam Putih beda dengan agenda pemberitaan. Gimmick dalam berita adalah dengan memanfaatkan isu muktahir demi agar penonton melihat televisi, atau setidaknya menyaksikan acara yang ditayangkan di televisi tersebut. Hal ini bisa juga berlaku pada media cetak (majalah maupun koran). Intinya, memanfaatkan isu, agenda, agar menjadi point of interst pembaca atau penonton. Dengan begitu, medianya yang sebelumnya tidak pernah dibaca orang, jadi dibaca. Portalnya yang tadinya cuma dikunjungi oleh segelintir viewers atau readers, akhirnya dibaca. Bahkan, gara-gara kontroversi, artikel di media tersebut di-share dan menjadi viral.
Acara berita di televisi yang sebelumnya rating-share-nya kecil, begitu angkat isu kontroversi, langsung melonjak. Padahal, media ini tak punya kepentingan politik. Tak ada agenda terselubung untuk menjatuhkan lawan politik. Bukan pula media buzzer. Televisi yang melakukan gimmick, hanya memanfaat momentum dengan mengangkat isu kontroversi. Begitulah salah satu strategi media.
Namun sayangnya, ketika ingin memanfaatkan momentum, media tidak lagi melakukan analisis dan riset data terlebih dahulu. Kontroversi yang diangkat, jadi terkesan sama seperti media buzzer, yang memiliki agenda terselubung. Yakni, politik balas dendam, dengan menjatuhkan lawan politik. Analisis dan riset yang dimaksud penulis di sini konteksnya tentang kata "pribumi".
Mengapa media harus menganalisis? Sebab, sebuah pidato tentu harus dipahami secara utuh. Jika tidak utuh, maka akan diplintir atau dipahami oleh penonton secara sepotong-potong. Gara-gara dipahami sepotong-sepotong, walhasil terjadilah kegaduhan. Penonton yang sudah terlanjur mengkritik, jadi terkesan bodoh saat memposting atau berkicau di sosial media. Padahal, salah satu tugas media seharusnya juga bisa mengedukasi dengan baik pembaca maupun penonton. Apa konteks kata "pribumi" dari pidato Anies? Apakah benar Gubernur terpilih periode 2017-2022 ini memang sengaja memancing rasisme?
Media pun tak (sempat) meriset, bahwa sebelum Anies mengucap "pribumi", ada sejumlah tokoh yang juga mengucapkan "pribumi". Saat Imlek Januari 2017, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sempat mengeluarkan perkataan "pribumi". Kata itu muncul saat Ganjar mengomentari soal batik Lasem, yang merupakan perpaduan antara unsur Arab, pribumi, dan Tionghoa. Selain Ganjar, Megawati pun sempat mengeluarkan kata "pribumi" dalam sebuah pidato. Begitu pula Menteri Susi Pudjiastuti, yang mengungkapkan, bahwa pemerintah akan menggulirkan program membangun konglomerasi pribumi.Â
Namun, entah media tak (sempat) meriset jejak digital tokoh-tokoh yang mengungkap kata "pribumi" sebelum Anies, atau memang punya tujuan lain, yakni sengaja mengincar kesalahan-kesalahan Anies. Entahlah, yang pasti, bola sudah kembali bergulir. Sepertinya kegaduhan belum juga berakhir. Genderang perang sudah dibunyikan. Menarik dan seru. Sekarang mari kira saksikan bersama, mana media yang akan dipermalukan oleh para penonton maupun Netizen, hanya gara-gara membela jagoannya.
Salam Damai!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H