Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketakutan Televisi Arus Utama di Tahun 2018

27 September 2017   20:55 Diperbarui: 28 September 2017   19:27 3858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Digitalisasi di dunia pertelevisian yang seyogyanya terjadi 2018 mendatang, bisa jadi akan molor lagi. Betapa tidak, hampir semua televisi arus utama (baca: mainstream) mencoba mengulur-ulur waktu untuk migrasi dari televisi analog ke televisi digital. Aneka lobi di gedung DPR pun dilakukan oleh mereka. Jadi, jangan heran, RUU Penyiaran Nomer 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pun hingga kini belum juga kelar. Masih mangkrak di Badan Legislatif (Baleg).

Padahal, digitalisasi televisi ini sangat mendesak. Indonesia termasuk negara Asia yang tertinggal dalam mendigitalisasi televisi. Malaysia sudah Analog switch off analog (ASO) atau menghentikan siaran analognya dan beralih (migrasi) total ke digital. Jepang sudah beberapa tahun lalu. Negara-negara Asia lain, seperti Korea juga sudah ASO. Namun, sampai September 2017 ini, televisi-televisi arus utama masih berusaha keras, untuk memperpanjang nafas mereka menjadi televisi analog. Baik RCTI, SCTV, ANTV, MNCTV, Indosiar, GlobalTV, Trans7, TransTV, tvOne, maupun Metro TV (selanjutnya kita sebut Lembaga Penyiaran Swasta atau LPS) masih menguasai frekuensi.

Sekadar info, bahwa siaran analog memakan frekuensi sangat besar, yakni menghabiskan 700 MHZ. Padahal cuma digunakan oleh 10 stasiun televisi swasta. Boros kan? Oleh karena boros frekuensi, maka televisi yang eksis jumlahnya sedikit. Sementara digitalisasi, akan memuat banyak televisi. 1 mu

Banyak alasan yang diungkapkan oleh televisi-televisi arus utama ini --yang disuarakan oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)--, yang menyebabkan ASO sulit diwujudkan pada 2018 nanti. Alasan pertama, mereka tak setuju dengan konsep single multiplexing (single mux) yang dioperatornya dipegang oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia atau RTRI, dimana untuk siaran televisi diberikan kepada LPP TVRI. Penjelasan secara ringkas mengenai single mux, alatdigital (encoder yang mendigitalkan siaran) yang dimiliki oleh televisi swasta, hanya bisa dipasang di pemancar milik TVRI (single mux operator).

Menurut mereka, single mux operatir menciptakan praktik monopoli. Dengan single mux, berpotensi akan membatasi pasar industri penyiaran. Oleh karena itu, televisi swasta ingin konsep hybrid, yakni sistem penyiaran digital yang mux-nya tidak tunggal, tetapi gabungan antara LPP dan LPS.

Alasan kedua, menggunakan single mux adalah bisa menyebabkan pemborosan infrastruktur yang sudah dibangun oleh televisi arus utama. Sebab, hanya stasiun televisi yang lolos seleksi yang mendapat kesempatan membangun infrastruktur. Sementara, gara-gara tak lolos seleksi di zona, maka televisi arus utama yang sudah membangun infrastrukturm, jadi tak terpakai lagi, ujung-ujungnya menyebabkan terjadinya PHK.

Jika di posisi sebagai pemilik televisi (LPS), Anda pasti akan memberikan alasan-alasan tersebut di atas. Harap maklum, ke-10 televisi swasta tersebut memang sudah banyak berinvetasi, baik itu membangun gedung sebagai biro maupun mendirikan pemancar. Andai televisi tersebut tidak memiliki izin bersiaran digital di sebuah daerah, maka investasi yang sudah dibangun itu tentu tidak bisa digunakan lagi, kecuali disewakan. Disewakan pun tidak mungkin jika menggunakan konsep single mux operator tadi.

Namun, apapun alasan yang dikemukakan oleh ATVSI, digitalisasi televisi merupakan keniscayaan. Tak bisa dicegah. Terlebih lagi, digitalisasi menguntungkan pemerintah. Dalam kajian The Boston Consulting Group, jika migrasi siaran analog ke digital (ASO) belum dilakukan pada 2018, maka pemerintah akan menaggung kerugian sebesar USD 16,9 miliar produk domestik bruto (GDP), lalu menanggung kerugian untuk pajak senilai USD 4,7 miliar.

Kedua, digitalisasi memungkinkan frekuensi tidak lagi dikuasai hanya oleh televisi arus utama tadi. Oleh karena tidak dikuasai hanya ke-10 televisi swasta arus utama, maka frekuensi-frekuensi tersebut jelas bisa dimanfaatkan oleh televisi-televisi lokal atau berjaringan. Dengan begitu, otomatis akan membuka banyak lapangan kerja baru bagi para lulusan penyiaran televisi. Jika sebelumnya hanya beorientasi melamar ke televisi arus utama tadi, para lulusan penyiaran televisi ini bisa memiliki banyak kesempatan bekerja di stasiun televisi digital yang ada di kota-kota mereka, sesuai zona digital yang sudah ditetapkan. Dalam hitungan The Boston Consulting Group, setidaknya ada sekitar 152 ribu lowongan baru yang tersedia.

Salam Digital!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun