[caption caption="Komisioner KPI saat beraudiensi dengan kelompok masyarakat terkait larangan lembaga penyiaran menayangkan dan mempromosikan perilaku seksual yang dianggap menyimpang, di Kantor KPI, Jakarta, Selasa (1/3/2016).Ilustrasi Indra Akuntono/KOMPAS.com"][/caption]Barangkali banyak yang belum tahu, bahwa Lembaga Sensor Film (LSF) punya tugas bukan sekadar mensensor film-film yang akan diputar di bioskop, melainkan juga mensensor acara-acara yang akan tayang di televisi. Tugas mulia ini bertujuan agar melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang terdapat di acara-acara televisi, baik itu ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perbuatan-perbuatan tercela dan hal-hal yang bersifat amoral, maupun merusak, membahayakan, dan tidak sesuai dengan norma-norma kesopanan umum di Indonesia.
Acara-acara yang disensor LSF bukan cuma sinetron, tetapi acara-acara seperti Poros Surga (religi Trans 7), Nyonya Nunung (sitcom, Net TV), Super Famili (kuis, ANTV), Indonesia Lawak Klab (komedi, Trans 7), The Comment (talk show, Net TV), Hitam Putih (talk show, Trans 7), Stand Up Comedy Klab (komedi, Indosiar), Mancing Mania (traveling, Trans7), dan acara lain. Seperti juga film, setiap acara yang tayang di televisi wajib mendapatkan Surat Tanda Lolos Sensor (STLS).
Lain LSF, lain pula Komisi Penyiaran Indonesia. KPI bertugas sebagai regulator. Lembaga ini perlu mengawasi lembaga penyiaran (baca: televisi) dan program acara. Jika terdapat tayangan yang tidak sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012, KPI akan member teguran stasiun televisi tersebut, bahkan bisa menghentikan tayangan. Tentu KPI bukanlah “preman” yang tak memiliki status jelas. Lembaga ini resmi berdiri, berdasarkan Undang-Undang Penyiaran Nomer 32 Tahun 2002.
Sebagai pengawas lembaga penyiaran, pada 18 Februari 2016 lalu, KPI Pusat mengeluarkan surat edaran kepada seluruh lembaga penyiaran. Isi surat edaran bernomor 184/K/KPI/02/16 ini meminta agar seluruh stasiun televisi tidak mengkampanyekan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di semua acara televisi. Begitu surat beredar, sontak ada sebagian pihak yang menjadi "panas dingin".
Bermacam-macam reaksi orang yang "panas dingin" tersebut. Ada yang menyentil, KPI Pusat tidak menghargai seni dan budaya bangsa, dengan mengambil contoh Didik Nini Thowok yang sudah mengharumkan bangsa Indonesia tidak akan bisa tampil lagi. Ada pula yang mengatakan, surat edaran tersebut merupakan pelanggaran ekspresi yang tidak sesuai dengan Pasal 28 E UUD 45, Ayat (2) dan (3). Yang paling parah, ada sutradara yang mengatakan hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang terkait hukum LGBT sebagai sebuah bentuk ujaran kebencian atau hate speech.
Mengamati reaksi orang-orang tersebut sungguh saya prihatin. Betapa tidak, surat edaran KPI Pusat seolah seperti kiamat bagi dunia seni pertunjukan. Seolah tak ada lagi kebebasan berekspresi yang bisa dilakukan oleh para seniman. Seorang orang-orang kreatif tidak punya kreativitas lagi dalam memproduksi sebuah acara di televisi. Padahal KPI Pusat ingin coba melakukan perlindungan terhadap anak dan remaja. Saya tidak ingin membahas lagi perilaku LGBT, sudah banyak dokter, psikolog, dan ahli kejiwaan menulis mengenai hal ini. Sebagai orang waras, silahkan Anda menjawab sendiri. Sebagai pengamat televisi, saya hanya ingin menganalisa sedikit, kenapa KPI Pusat mengeluarkan larangan tentang penayangan LGBT di televisi ini.
Barangkali orang-orang yang "panas dingin" itu tidak tahu fungsi KPI?
KPI punya tugas sebagai regulator. Lembaga ini perlu mengawasi lembaga penyiaran (baca: stasiun televisi) dan program acara. INGAT! KPI PUNYA WEWENANG MENGAWASI LEMBAGA PENYIARAN! CATAT ITU! Jika terdapat tayangan yang tidak sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI Tahun 2012, KPI akan member teguran stasiun televisi tersebut, bahkan bisa menghentikan tayangan. Tentu KPI bukanlah “preman” yang tak memiliki status jelas. Lembaga ini resmi berdiri, berdasarkan Undang-Undang Penyiaran Nomer 32 Tahun 2002.
Nah, sebagai pengawas di televisi, KPI Pusat jelas punya wewenang untuk mengeluarkan aturan. Aturan yang sekarang diperdebatkan adalah surat edaran bernomor 184/K/KPI/02/16. Maksud KPI Pusat dari edaran itu adalah televisi tidak boleh memberikan ruang yang dapat menjadikan perilaku LGBT sebagai hal yang lumrah atau wajar. Di P3 dan SPS pun sudah jelas, ada aturan tentang penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan. Termasuk menayangkan muatan yang mendorong anak dan remaja berperilaku tidak pantas atau membenarkan perilaku tersebut.
Apakah seniman seperti Didi Nini Thowok tidak bisa pentas? Apakah Srimulat tidak bisa manggung?
Barangkali mereka yang "panas dingin" lupa, bahwa televisi dengan acara pementasan budaya berbeda. Televisi, apalagi stasiun televisi teresterial yang bersiaran secara free to air (baca: gratis), mudah ditonton oleh siapa saja, termasuk anak-anak maupun remaja. Sementara, pementasan budaya, para penontonnya selektif dan bahkan terkadang dipunggut biaya tiket. Artinya, mereka yang datang ke pementasan memang memiliki minat pada bidang tersebut. Kalo pun ada anak-anak atau remaja, pementasan tersebut sesuai dengan usia mereka. Berbeda dengan televisi yang bisa dilihat oleh siapa pun, kapan pun, dan gratis.