Mohon tunggu...
Ombrill
Ombrill Mohon Tunggu... Jurnalis - Videografer - Content Creator - Book Writer

Book Writer - Video Blogger - Content Creator

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tindakan Kekerasan dalam Paket Berita

27 April 2015   18:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:37 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_413109" align="aligncenter" width="700" caption="Ilustrasi, KOMPAS.com"][/caption]

Paket berita # 1

Segerombolan orang memasuki ruangan karaoke. Mereka membuka satu persatu pintu ruang karaoke. Dua orang menyeret keluar salah seorang pengunjung karaoke. Di antara segerombolan orang tersebut ada salah seorang yang membawa senjatan tajam. Ia membacok orang yang tadi diseret keluar dari ruang karaoke.

Paket berita # 2

Sebuah mobil sedan berwarna pink berhenti tepat dibelakang truk. Saat itu beberapa kendaraan sedang menunggu lampu lalu lintas berhenti. Tiba-tiba sebuah trus dengan kecepatan tinggi berada di belakang mobil berwarna pink. Rek truk ini blong. Truk ini akhirnya menabrak mobil pink. Bruk!

Dua paket berita di atas menjadi pembahasan di ruang rapat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat siang ini (Senin, 27 April 2015). Menurut Komisioner Bidang Isi Siaran KPI Pusat Rahmat Arifin, kedua paket berita tersebut melanggar Standar Program Siaran (SPS) Bab XIII mengenai ‘Pelarangan dan Pembatasan Kekerasan’. Di Pasal 23 disebutkan, bahwa program siaran yang memuat adegan kekerasan dilarang: (a) menampilkan secara detail peristiwa kekerasan, seperti: tawuran, pengeroyokan, penyiksaan, perang, penusukan, penyembelihan, mutilasi, terorisme, pengrusakan barang-barang secara kasar atau ganas, pembacokan, penembakan, dan/atau bunuh diri; (b) menampilkan manusia atau bagian tubuh yang berdarah-darah, terpotong-potong dan/atau kondisi yang mengenaskan akibat dari peristiwa kekerasan; (c) menampilkan peristiwa dan tindakan sadis terhadap manusia.

Apakah Paket Berita # 1 termasuk sadis? Silahkan Anda bayangkan sendiri. Namun yang pasti, Paket Berita # 1 mengenai pembacokan itu diambil salah satu stasiun televisi –kita sebut saja TV A- dari sebuah CCTV. TV A menayangkan apa adanya. Ketika dua orang menyeret sesorang dari ruang karaoke, gambar tidak diblur. Begitu pula saat seseorang membacok orang tersebut, sehingga mengeluarkan darah, gambar tidak diblur.

Pada Paket Berita # 2 dari stasiun TV B mengenai mobil pink yang ditabrak dari belakang oleh truk juga tidak diblur. Asap dari mobil pink yang ringsek, karena ditabrak dari belakang dan menabrak truk dari depan dibiarkan apa adanya. Anda bisa membayangkan, bagaimana perasaan keluarga yang ada di dalam mobil pink tersebut.

Selain dua paket berita tersebut, KPI Pusat juga menanyangkan beberapa paket berita lain yang dianggap mengandung nilai kekerasan. Paket Berita # 3, misalnya. Paket ini diambil dari video milik polisi yang diambil dari mobil patrol. Di dalam mobil, polisi menemukan seorang buronan yangs sedang berjalan di atas trotoran. Namun, mobil polisi sengaja melaju dengan kencang den menabrak buronan itu sampai tewas. Sadis!

Dalam pertemuan siang ini, ada sejumlah jurnalis yang mencoba mempertanyakan definisi sadis atau kekerasan. Sebab, seorang jurnalis butuh gambar agar penonton melihat dengan terang benderang fakta yang terjadi.

Kata “fakta” memang menjadi “dewa” dalam dunia jurnalisme. Namun, apakah sebuah “fakta” harus mengorbankan penonton di rumah? Memperlihatkan dengan kasat mata tindak kekerasan di layar kaca yang akhirnya dianggap sebagai sebuah kelaziman? Tentu tidak.

Sebuah “fakta” tentu saja bisa disiasati saat penayangannya, tanpa seorang jurnalis harus berbohong. Selain gambar wajib diblur, Rahmat Arifin memberikan masukan, bisa saja kekerasan diminimalisir tanpa harus membiarkan video diputar apa adanya. Misal di Paket Berita # 2. Trus dari belakang tetap muncul, namun gambar pada saat menabrak dan membuat ringsek mobil pink tidak perlu dibiarkan muncul. Pada saat trus mendekat, video bisa di-freeze atau di-still. Setelah gambar tersebut, baru muncul hasil dari tabrakan tersebut, yakni mobil pink yang ringsek.

Seorang peserta dalam pertemuan dengan KPI tadi memberikan usulan. Jika video dianggap mengandung kekerasan, maka adegan yang dianggap kekerasan itu bisa dilakukan dengan cara membuat seolah seperti still photo. Misal pada Paket Berita # 1, video yang diambil via CCTV tersebut cukup dibuat still pada saat adegan pengroyokan. Gambar orang yang dibacok diberi lingkaran, agar penonton tahu. Sementara untuk menguatkan cerita fakta tersebut ditunjang dengan narasi.

Jelas, menjadi seorang jurnalis televisi harus kreatif juga. Seorang jurnalis harus mendewakan “fakta” dalam sebuah berita, tetapi ia juga wajib menyadari dampak dari penayangan paket berita yang dibuat. Jangan sampai demi rating-share, penayangan paket berita tidak mempedulikan dampak bagi penonton televisi.

Salam Positif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun