Boleh saya Jujur? Setiap jengkal kalimat milik sahabat jimmo begitu bernyawa. Setiap jengkal kalimatnya yang ceplas-ceplos membuat saya berfikir ulang tentang hidup. Saya bertemu dengannya satu tahun yang lalu, menikmati arak bali di kuta sambil meniup harmonika. Saya pikir dia seniman hidup, dari sikapnya yang garang dan tak pernah peduli berhadapan dengan siapa-siapa. Laki – laki yang tak pernah menjilat. Dia bagai gunung, matanya bagai elang bahkan tinta tak pernah habis untuk menceritakan tentang dirinya.
Laki – laki yang tak punya etika begitu saya bilang bahkan mungkin kaum berpangkat, tak pernah peduli siapa yang di hadapi mau anak jendral,anak konglomerat,anak dukun beranak buat jimmo sama saja. Jiwanya bebas liar dan tak pernah mengaduh walau pistol ada di pelipis jidatnya. Saya pernah melihat dia menangis, bukan karna tertusuk pisau,bukan karna jatuh, bukan karna dihina atau karna dia miskin. Karna jimmo gagal melakaukan yang terbaik. Dan beban itu terasa berat untuk hari – harinya.
Banyak hal yang saya pelajari dari dia walau dia tidak sehebat pangeran diponegoro,soekarno,sultan hasanudin atau bung hatta. Dia bukan pahlwan yang namanya ada dalam buku sejarah. Tapi jiwanya yang patut diangkat jempol. Saya belajar menulis darinya walau dia selalu bilang“ Saya Bukan Guru.” Yang paling saya ingat adalah saat dia memainkan harmonika saat senja dalam lagu The door.
Pelukis malam dan penghibur para orang terluka, saat langit – langit bewarna merah saga. Kau sahabatku yang tak pernah terhapus waktu sahabat Jimmo. Salam jauh dari timur jawa, ketika ombak – ombak memainkan kakimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H