Mohon tunggu...
Lelaki Ombak
Lelaki Ombak Mohon Tunggu... -

diam bagai gunung,bergerak bagai Ombak. Terlahir sebagai Perayu ombak, ombak dan terik jadi kegiatan dalam hidup. lahir di bagian utara Afrika. menyukai surfing. menulis cuma buat coba - coba. Tinggal di Timur Jawa denga pantai yang indah dan ombak yang bagus untuk Surfing

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Musim Gugur di Matamu

30 Maret 2010   13:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:06 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Temaram lampu didalam kamar juga dua puisi kelam di depan terpasang kusut didepan mawar yang telah layu. Bunga itu untukmu, sebuah jawaban saat kau bertanya apa kau cinta. Seharsunya malam itu sepurna. Seirama dengan permainan piano dan tepuk tangan pengunjung. Tapi akhir yang pahit begitu cepat, secepat bayanganmu mengoyak semua hatimu.

“Ombak pasti akan bertepi, kembali menyapa pasir dan kaki telanjang. Menyambut pesan dalam botol untuk kerapuhan hati laki – laki malam ini.”

“kau yakin?”

“coba kau tanya ombak yang sedang bergulung mengutuki bisunya karang.”

“Tapi saya yakin dia bukan ombak.”

“paling tidak dia angin.”

“Justru saya tak berharap, atau mungkin cemas hati ini kurelakan.”

“gunung hanya bisa berdoa saat hujan membuatnya dingin sobat.”

“tapi saya bukan mawar untuk langit – langit mendung seorang hati wanita.”

“Mungkin kau lelah.Hisaplah, semoga kau tenang untuk sejenak”.

Seharusnya musim gugur ini indah, menikmati jatuhnya pohon jati dalam remang – remang cahaya menyambut pagi atau saat terik atau saat senja saat kubuka seluruh mataku untuk semua binar matamu dan alunan nada semu untuk setiap helai rambutmu yang bercumbu dengan angin. Masa lalu itu terpaksa kurenggut dalam luksian – lukisan malam, dalam kesepian burung – burung camar untuk menaklukan angin laut dan memberi kabar pada nelayan.

Kau usik seluruh badai hatiku tentang seluruh hati yang penuh warna utuk mengajakmu bermain teka – teki. Sepert warna kelabu dalam luksian paradoks disisi kamar untuk penyandang pikun, menunggu waktu sebelum ruh kembali berhenbus, apa kau dengar saat hatiku merintih. Apa kau mendengar saat jiwa – jiwaku bersegama dalam bayanganmu hingga klimaks. Kau sadar bahwa cinta itu menembus norma – norma etika. Kukira kahayalan sempurna dan ternyata mimpi itu pahit.

Surat terakhirku sebelum malam membunuhku sebelum anjing – anjing liar mengendus darahku yang mengering. Surat dalam botol untukmu yang terus terapung di lautan bebas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun