"Jika ingin polusi udara di Jakarta turun, maka kita sepatutnya mendukung penggunaan BBM yang berkualitas. Bukan alih-alih memilih jenis BBM yang buruk 'hanya' karena pertimbangan murah dan ekonomis saja."Â
Isu lingkungan patut menjadi perhatian serius bagi pemerintah saat ini. Pasalnya, Indonesia termasuk negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia.
Ibu kota DKI Jakarta kerap menyandang status sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Tak hanya itu, Jakarta malah sering mengalahkan Ibukota negara lainnya, seperti Beijing, New York, atau Tokyo.
Bahkan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Jakarta ke-493, pada Senin 22 Juni 2020 lalu, kualitas udara Ibu kota menempati peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Berdasarkan pemantauan Air Quality Index, kualitas udara di DKI Jakarta mencapai angka 162 atau tidak sehat dengan polutan 43,9 g/m. Sedangkan standar aman WHO dalam batas wajar polutan adalah 25 g/m.
Dengan kondisi seperti itu, IQAir pun menyarankan warga tidak berkegiatan di luar ruangan, menutup jendela untuk mengurangi udara kotor masuk ke dalam rumah, atau ruangan serta memasang alat penjernih udara.
Hal ini sebenarnya menjadi ironi. Pasalnya, tak lama lalu ketika Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) diterapkan, dimana mobilitas penduduk dan aktivitas industri berhenti, langit Jakarta begitu cerah. Polusi udara pun turun drastis dalam kategori "sehat".
Sehingga besar kemungkinan melonjaknya tingkat polusi udara di Jakarta ini terjadi setelah Pemprov DKI melonggarkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan mengubahnya menjadi transisi agar bisa beradaptasi dalam kondisi kenormalan baru.
Alhasil jalanan Ibu kota yang sempat lengang, kini kembali macet pada jam-jam sibuk seperti di pagi hari dan sore. Kendaraan pribadi kembali menyumbang polusi tertinggi.
Kondisi tersebut harusnya bisa menjadi pemantik diskusi kebijakan publik untuk mencari celah dan peluang, sekaligus habitus baru, agar kualitas udara tetap sehat meskipun aktivitas publik tetap normal. Mungkin bahan bakar yang digunakan masyarakat perlu dievaluasi lagi.