Populisme merupakan strategi politik yang memanfaatkan suara suara dari rakyat yang tidak puas atau tertindas oleh kebijakan hukum, ekonomi, sosial oleh pemerintah sebelumnya atau sekarang. Misalkan disuatu negara terdapat rakyat yang sangat tidak puas terhadap hukum dan ekonomi tersebut, kemudian muncul seorang politisi atau tokoh maysarakat yang akan berjanji untuk memperbaiki atau mensejahterakan ekonomi dan hukum yang ada dinegara tersebut, itu merupakan contoh dari manuver politik populisme. Populisme tidak selalu menguntungkan rakyat bisa saja politisi atau tokoh rakyat yang kemudian terpilih menjadi pemimpin rakyat hanya memanfaatkan suara itu hanya untuk memenangkan kompetisi dengan suara- suara mayoritas tersebut dan janji janji itu ditinggalkan begitu saja. Dan ada juga sisi positif nya apabila pemimpin itu benar dan menepati janji janji yang dijanjikan saat kampanye, yang merupakan masalah terbesar didalam negara tersebut. Namun pada kenyataannya diberbagai negara para pemimpin populis hanya memanfaatkan suara suara rakyat yang tertindas atau tidak puas tersebut sebagai momentum untuk memenangkan pemilihan tersebut dan janji janji yang mereka ucapkan hanyalah janji palsu yang kemudian membuat banyak rakyat kecawa, dan akan muncul pemimpin yang populis lagi yang memanfaatkan kekecewaan rakyat tersebut untuk memenangkan pemilihan. Dan kasus populisme ini sudah terjadi secara terulang kali dari pemimpin yang tidak bagus yang memunculkan pihak yang kecewa kemudian muncul tokoh populis yang memanfaatkan kekecewaan tersebut dan memenangkan pemilihan yang kemudian meninggalkan janji itu dan memunculkan pihak yang kecewa. Populisme memberikan efek negatif kepada demokrasi yang sudah terjadi diberbagai negara termasuk di Indonesia.
Populisme dan demokrasi di Indonesia merupakan dua hal yang tidak dipisahkan. Populisme di Indonesia disebabkan oleh naik turunnya perekonomian, ketidak adilan hukum, serta hak hak sosial yang tidak dipentingkan oleh pemerintah yang akan menyebabkan kaum yang kecewa atau tertindas terhadap pemerintah . Dan dikeadaan ini lah merupakan momen untuk para tokoh populis untuk mendapatkan suara dari mereka dengan dalih untuk memperbaiki, memperjuangkan mereka dengan dalih “suara rakyat”. Belum tentu tokoh populis itu benar benar memperjuangkan mereka dengan dalih “suara rakyat” bisa saja tokoh populis itu hanya memanfaatkan mereka untuk mendapatkan popularitas, naik panggung, dukungan, dll. Memang susah untuk membedakan mana tokoh populis yang benar benar memperjuangkan mereka atau hanya memanfaatkan mereka.
Populisme yang sering terjadi di demokrasi Indonesia adalah populisme agama. Dikarenakan Indonesia memiliki penduduk yang sangat banyak dan beragam Islam yang berjumlah 86% dari penduduknya itu. Banyak politisi memanfaatkan ummat muslim sebagai momentum untuk mendapatkan suara dari ummat Muslim dengan dalih agama yang menyebabkan sikap kesetimpangan dan intoleran terhadap ummat yang beragama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Dikarenakan ummat Muslim tampil sebagai dominan atau mayoritas di Indonesia menganggap bahwa suara yang paling dipentingkan hanya suara dari ummat Muslim saja sedangkan di Indonesia memiliki beragam agama juga yang suara nya yang wajib untuk dipentingkan. Populisme Islam yang terjadi di Indonesia merupakan ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Karena umat yang tidak beragama Islam dianggap sebagai oposisi yang dikarenakan agama Islam sebagai mayoritas dan dominan dari warga Indonesia. Dengan realita tersebut banyak kasus diskriminasi terhadap kaum minoritas karena superioritas mayoritas.
Fenomena tersebut tidak sesuai dengan konsep “Bhineka Tunggal Ika”.Orang orang menyebutnya sebagai “politik identitas”. Yang merupakan politik memanfaatkan identitas dari suatu kaum yaitu SARA. Dan menggunakan agama sebagai alat untuk kontestasi politik demokrasi di Indonesia yang berpotensi dapat membuat kerusuhan dan perpecahan antar warga negara yang tidak sesuai dengan identitas dalam “politik identitas” tersebut. Yang seharusnya agama tidak dikaitkan dalam kontestasi politik
populisme Islam dapat kita ambil contoh dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Pada tahun 2017 terjadi pilkada di DKI Jakarta dan salah satu kontestan politik yaitu Basuki Thjaja Purnama (Ahok) dibenci karena agama dan juga etnisnya. Dan para umat muslim yang tidak setuju pada ahok mengeluarkan dalih agama dari Al Qur an surah Al Maidah ayat 51 dan ahok mengeluarkan pendapat tentang surah itu yang membuatnya terkena tuduhan penistaan agama. Disaat itulah organisasi rakyat seperti FPI ( Front Pembela Islam ) menggerakkan massa nya untuk demo, protes dan untuk tidak memimilih Ahok dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Dan memiliki efek yang sangat signifikan Basuki Thjaja Purnama ( Ahok) kalah dalam pilkada tersebut.
Pemilu presiden pada tahun 2019 seperti Jokowi memilih Ma’ruf Amin untuk menjadi cawapres dikarenakan Ma’ruf Amin sebagai tokoh agama terkemuka pada saat itu.Dan pada pemilu untuk tahun 2024 Anies Baswedan memilih Cak Imin sebagai tokoh agama yang mewakili daerah jawa timur. Dari dua fenomena ini bisa ditarik benang merah bahwa di Indonesia demokrasi dan populisme Islam tidak bisa dipisahkan.
Dinamika kontestasi politik di Indonesia sangat tidak bisa dipisahkan dari populisme dari tahun ke tahun. Populisme rentan untuk memecah belah suatu bangsa. Populisme sendiri itu juga tidak mewakilkan suara dari seluruh rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI