[caption id="attachment_142944" align="aligncenter" width="300" caption="Peta Jalur Kereta Maut Saketi-Bayah"][/caption] Jalur kereta api Saketi-Bayah yang terletak di Banten, merupakan salah satu jalur yang mendapat julukan “Death Railway”. Seperti yang telah diketahui, jalur dengan julukan yang sama juga terdapat di Birma-Thailand, dan di Pulau Sumatera yang mengubungkan Pekanbaru-Muaro Sijunjung. Setelah sedikit membahas tentang jalur Pekanbaru-Muaro Sijunjung, kali ini akan sedikit dibahas jalur kereta api Saketi-Bayah yang berjarak sekitar 89 Km.
Jalur Saketi-Bayah dibangun Jepang mempunyai tujuan untuk mengangkut batubara yang digunakan untuk bahan bakar kereta dan kapal laut dari Cikotok, dan untuk menghindari kehilangan armada kapal laut Jepang yang digunakan mengangkut batubara dari Sumatera dan Kalimantan ke Jawa, karena mulai terganggu akibat serangan kapal selam tentara sekutu. Jepang mendapat informasi tentang adanya cadangan batubara di daerah Cikotok dekat Bayah dari arsip peninggalan pemerintah Hindia-Belanda tahun 1900-an. Dalam laporan itu tertulis bahwa cadangan batubara disana mencapai 20 sampai 30 juta ton. Untuk itu pada Agustus 1942 pemerintah Jepang yang diwakili biro transportasi melakukan penyelidikan bersama dengan pemandu lokal dan empat orang insinyur asal Belanda. Penyelidikan itu untuk mengetahui cara dan rintangan yang akan dihadapi dalam membuat jalur penghubung Saketi-Bayah. Setelah selesai melakukan penyelidikan, rancangan jalurmulai dibuat pada bulan Juli tahun 1942. Tidak hanya rancangan jalur, beberapa hal pendukung persiapan seperti pembangunan barak, gudang, kantor, dan jalan juga berlangsung.
Pembangunan jalur ini dimulai pada Februari 1943, setelah pemerintahan militer Jepang resmi memerintahkan pembangunannya. Namun, dalam perjalanannya pembangunan jalur ini menghadapi beberapa kendala misalnya seperti daerah yang ditutupi dengan hutan lebat, rawa, dan pegunungan penuh dengan hewan buas seperti harimau, buaya, ular berbisa, kalajengking dan juga penuh dengan berbagai macam penyakit. Untuk pembangunan jalur rel dan membuka hutan, banyak digunakan rakyat dari berbagai daerah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, Jawa Timur, dan dari daerah Banten sendiri. Tidak ada data yang pasti berapa jumlah romusha yang dipakai untuk membangun jalur ini, namun dalam buku War, Nationalism, and Peasants: Java Under The Japanese Occupation 1942-1945, karya Shigeru Sato, disebutkan bahwa dipekerjakan tidak kurang 25.000 sampai 55.000 buruh romusha harian. Dalam sebulan hampir 500 orang romusha tewas dalam proses pembangunan jalur ini. Pada umunya para romusha tewas karena kelaparan, kurangnya obat-obatan, pekerjaan yang berat diluar batas kemampuan para romusha, dan penyakit seperti Malaria dan Disentri. Romusha yang tewas kemudian dikuburkan dengan cara dikumpulkan dalam satu lubang, di satu lubang kuburan itu terdapat lebih dari sepuluh mayat romusha. Untuk mengganti romusha yang tewas, Jepang kemudian merekrut jumlah romusha yang lebih banyak pada tiap harinya.
Cara yang dilakukan Jepang untuk merekrut pekerja baru adalah melakukan propoganda, yaitu Jepang mengundang para pemuda untuk ikut ambil bagian dalam proyek pembangunan jalur kereta api Saketi-Bayah, dan yang ikut akan mendapatkan bayaran 40 sen dan 250 gram beras. Tidak hanya itu Jepang juga bekerja sama dengan kepala desa untuk merekrut tenaga kerja. Seperti contoh yang dimuat dalam buku yang sama karya Shigeru Sato halaman 181 “Salah satu artikel dalam Jawashinbun yang melaporkan pembukaan jalur kereta api ini, memuji kepala Desa Cilankahan, Bayah Raden Kartahujaya untuk kerjasama positif nya dari tahap awal dalam tugas yang sulit, yaitu perekrutan tenaga kerja”. Cara paksaan pun juga digunakan untuk merekrut tenaga kerja, seperti yang dialami oleh Ahmad Parino salah seorang romusha yang masih selamat asal Purworejo kelahiran tahun 1924. “Waktu itu selepas pulang Sekolah Rakyat (SR), saya ditangkap tentara Jepang untuk dikirim menjadi Romusha di wilayah Banten. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 3,” katanya. Tidak hanya seorang Ahmad Parino, beberapa temannya pun ikut dibawa oleh tentara Jepang ke Banten untuk dipekerjakan sebagai romusha.
Selama bekerja membangun jalur kereta api Saketi-Bayah, para romusha tidak jarang juga mendapat penyiksaan dari tentara Jepang. Para romusha itu dipaksa terus bekerja, baik itu membuka hutan atau memasang jalur rel untuk jalannya kereta. Ahmad Parino pun menambahkan “Salah satu perwira tentara Jepang yang sering menyiksa romusha adalah Samsua Hojai, bahkan saya pernah melihat dengan mata sendiri, sepuluh kawan saya ditembak mati oleh Samsua Hojai.” Nasib para romusha itu sedikit berubah setelah datangnya Tan Malaka ke Bayah yang bekerja sebagai juru tulis di kantor sosial setempat. Tan Malaka sangat memperhatikan nasib para romusha, ia sering memberikan saran tentang kesehatan dan kesejahteraan para romusha kepada pejabat direktur di tempat ia bekerja Kolonel Tamura, namun tidak berhasil. Tidak hanya hal itu yang ia lakukan, tidak jarang ia juga pernah membelikan para romusha nasi dengan upahnya sendiri. Ia juga meminta bantuan pemuda di sekitar Bayah untuk membangun dapur umum bagi para romusha, membangun rumah sakit di Bayah, dan membuka kebun buah-buahan dan sayur-sayuran di Tegal Lumbu dekat Bayah.
Maret 1944 jalur ini selesai dibangun, dan mulai digunakan pada April 1944. Jalur ini lebih beruntung ketimbang jalur kereta maut Pekanbaru-Muaro Sijunjung karena, jalur ini masih digunakan untuk mengangkut batubara hingga tahun 1950-an. Tidak seperti jalur Pekanbaru-Muaro Sijunjung yang hanya digunakan sekali untuk menjemput para romusha yang masih hidup dan tertinggal di tengah belantara hutan Sumatera. Jumlah romusha yang meninggal dalam pembangunan jalur kereta maut Saketi-Bayah belum diketahui jumlah pastinya. Namun, asal kata Saketi dalam bahasa Sunda berarti 100 ribu banyak yang menganalogikan bahwa 100 ribu itu adalah jumlah romusha yang tewas dalam proyek pembangunan jalur kereta api maut ini. Tan Malaka menyebut dalam memoarnya, sampai akhir masa kependudukan Jepang luas kuburan tempat pemakaman romusha adalah 38 hektar. Untuk mengenang para romusha yang tewas, pemerintah membangun sebuah tugu di sebelah kantor Kecamatan Bayah, namun kondisinya sekarang kurang terawat.
Sumber :
Sato, Shigeru. War, Nationalism, and Peasants: Java Under The Japanese Occupation 1942-1945. New York : M.E. Sharpe, Inc., 1994.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127939.id.html (Kerani yang Baik Hati, Tempo Edisi Tan Malaka : Bapak Republik yang Dilupakan)
http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/27/penuturan-saksi-pembangunan-jalur-rel-saketi-bayah/
http://humaspdg.wordpress.com/2010/04/14/jalur-ka-saketi-bayah-adalah-jalur-death-railway/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H